Langsung ke konten utama

ARTIKEL BULAN JUNI

 
Nama: Veren Maryona Patty
Jurusan/Angkatan: Manajemen 2023

PENGKHOTBAH 3:1-8

REFLEKSI AKHIR SEMESTER: MENGUCAP SYUKUR DI SEGALA MUSIM

Pengantar

     Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas penyertaan-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan semester ini. Akhir semester sering kali membawa dua hal: kelegaan karena perjuangan belajar telah selesai, dan kelelahan karena tumpukan tugas dan ujian. Namun di tengah semua itu, kita diingatkan untuk melihat kembali karya Tuhan dalam setiap musim kehidupan kampus kita—entah penuh dengan tangis, tawa, atau keduanya.

Mengingat Setiap Musim: Ada Waktu untuk Segalanya

3:1 Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. 3:2 Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; 3:3 ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; 3:4 ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; 3:5 ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; 3:6  ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; 3:7 ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; 3:8 ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.

Pengkhotbah 3:1-8

     Dalam Pengkhotbah 3:1–8, tertulis bahwa untuk segala sesuatu ada masanya. Ada waktu untuk menangis dan waktu untuk tertawa, waktu untuk meratap dan waktu untuk menari. Ayat ini mengingatkan kita bahwa hidup tidak selalu datar atau sesuai keinginan kita, tetapi setiap musim kehidupan telah ditetapkan oleh Tuhan dengan tujuan yang mulia. Tidak ada yang terjadi secara kebetulan; setiap fase dalam hidup kita adalah bagian dari karya-Nya yang besar dan penuh kasih.

     Sebagai mahasiswa, kita pun menjalani berbagai musim yang berbeda. Ada musim ketika kita begitu giat belajar, lembur demi ujian, dan merasa otak serta tenaga terkuras habis. Ada pula musim ketika kita menghadapi kegagalan—nilai yang tidak sesuai harapan, rencana yang berantakan, atau rasa kecewa yang sulit dijelaskan. Di sisi lain, ada juga musim di mana kita begitu bersemangat dalam pelayanan, aktif di persekutuan, dan merasa hidup kita sedang digunakan Tuhan dengan luar biasa. Namun, tak jarang juga kita memasuki musim yang penuh tantangan dalam relasi: entah itu konflik dengan teman, kesepian yang menusuk, atau kehilangan arah rohani.

     Namun di balik semua musim itu, satu hal yang pasti: Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Dia bekerja tidak hanya di musim sukacita, tetapi juga di musim kelam. Bahkan saat kita merasa paling lemah atau tidak layak, kasih-Nya tetap bekerja membentuk hati kita. Musim sulit adalah ruang pertumbuhan, tempat kita belajar mengandalkan-Nya. Musim sukacita adalah kesempatan untuk memuliakan Dia dan menyadari betapa besar anugerah-Nya. Karena itu, akhir semester ini adalah momen yang tepat untuk merenung: di musim apa kita saat ini, dan bagaimana Tuhan telah hadir dan menyertai sepanjang perjalanan?

Apa yang Bisa Kita Syukuri?

     Di tengah segala dinamika semester yang baru saja berlalu—baik yang menggembirakan maupun melelahkan—kita diajak untuk melihat lebih dalam: apa yang sebenarnya bisa kita syukuri? Bersyukur bukan hanya ketika segala sesuatu berjalan sesuai keinginan, tetapi juga saat kita sadar bahwa penyertaan Tuhan nyata dalam prosesnya.

     Kita bisa mulai dari hal sederhana: napas kehidupan yang masih kita terima setiap hari, kekuatan yang Tuhan beri untuk menyelesaikan tugas, serta kesempatan untuk belajar dan bertumbuh. Mungkin kita tidak mendapatkan nilai terbaik, namun kita memperoleh pelajaran hidup yang jauh lebih berharga. Mungkin relasi kita dengan orang lain sedang diuji, namun justru di situ kita belajar tentang pengampunan, kesabaran, dan kasih yang sejati.

     Tak kalah penting, kita patut bersyukur atas keberadaan komunitas iman seperti PMKO—tempat di mana kita bisa saling menguatkan, berdoa bersama, dan menemukan keluarga rohani di tengah padatnya aktivitas kampus. Lewat persekutuan, pelayanan, dan bahkan obrolan kecil dengan teman seiman, Tuhan kerap menyampaikan penghiburan dan teguran yang membentuk kita menjadi pribadi yang lebih dewasa secara rohani.

     Bersyukur bukan soal pencapaian, melainkan tentang pengenalan akan karakter Tuhan. Dia setia, Dia peduli, dan Dia bekerja melalui setiap detik hidup kita, bahkan ketika kita merasa semuanya berjalan tidak ideal. Maka, marilah kita belajar melihat semester ini bukan hanya sebagai daftar nilai akademik, tetapi sebagai catatan jejak penyertaan Tuhan dalam hidup kita.

Belajar Bersyukur di Tengah Ketidakpastian

     Tidak bisa dimungkiri, akhir semester seringkali menyisakan banyak tanda tanya. “Bagaimana hasil nilainya nanti?” “Lolos mata kuliah ini atau harus mengulang?” “Apakah semester depan akan lebih baik?” Ketidakpastian semacam ini bisa membuat hati gelisah dan pikiran tidak tenang. Namun justru di titik inilah kita diajak untuk belajar bentuk syukur yang lebih dalam—syukur yang tidak bergantung pada hasil, tetapi pada pengenalan akan siapa Tuhan itu.

     Syukur sejati tidak muncul dari kepastian duniawi, tetapi dari keyakinan bahwa Tuhan tetap memegang kendali, sekalipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Dalam 1 Tesalonika 5:18, Rasul Paulus mengingatkan, "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." Bukan “untuk segala hal”, tapi “dalam segala hal”—termasuk dalam situasi yang tidak pasti, dalam proses yang belum selesai, dan dalam penantian yang terasa lama.

     Ketika kita memilih untuk bersyukur, kita sedang mengatakan bahwa iman kita tidak bergantung pada situasi, melainkan pada karakter Allah yang baik dan setia. Kita percaya bahwa bahkan di tengah kabut masa depan yang belum jelas, Tuhan tetap punya rancangan damai sejahtera (Yeremia 29:11). Bersyukur dalam ketidakpastian bukanlah bentuk kepasrahan, tetapi tanda kedewasaan iman—bahwa kita mempercayai jalan Tuhan lebih daripada logika atau perhitungan kita sendiri.

     Akhir semester adalah waktu yang ideal untuk melatih hati kita dalam hal ini. Bukan hanya karena semua sudah selesai, tapi justru karena masih ada banyak hal yang belum kita ketahui. Dan dalam ketidaktahuan itu, kita bisa memilih untuk bersyukur—karena Tuhan tahu dan memegang semuanya.

Apa yang Bisa Kita Renungkan dan Bawa ke Semester Berikutnya?

     Refleksi yang sehat tidak berhenti pada mengingat masa lalu, tetapi juga melibatkan langkah ke depan. Setelah melewati satu semester penuh cerita—baik yang manis maupun yang getir—pertanyaannya sekarang adalah: apa yang bisa kita pelajari? Dan lebih penting lagi, apa yang bisa kita bawa ke semester berikutnya sebagai bekal pertumbuhan iman dan karakter?

     Pertama, kita bisa mulai dengan mengevaluasi relasi kita dengan Tuhan. Apakah selama semester ini kita semakin dekat atau justru menjauh dari-Nya? Apakah kita memberi ruang untuk firman dan doa di tengah kesibukan, atau justru menjadikan Tuhan sebagai “opsi cadangan” saat keadaan kacau? Evaluasi ini penting bukan untuk menghakimi diri sendiri, tetapi untuk menyadari area mana yang perlu diperbaiki atau ditumbuhkan.

    Kedua, kita bisa merefleksikan bagaimana kita merespons setiap musim. Apakah kita bersikap bersyukur di tengah kesulitan? Apakah kita rendah hati ketika berada di puncak pencapaian? Kita tidak bisa mengendalikan semua yang terjadi, tetapi kita bisa memilih bagaimana meresponsnya.

     Ketiga, renungkan kembali komitmen pelayanan dan kehidupan komunitas. Mungkin ada hal yang harus kita prioritaskan ulang, atau tanggung jawab yang perlu dijalani dengan lebih tulus. Semester baru bukan hanya awal akademik, tapi juga kesempatan untuk memperbarui hati dan niat kita dalam hidup sebagai murid Kristus.

     Membawa pelajaran dari semester sebelumnya bukan berarti membawa beban, tetapi membawa hikmat. Kita tidak datang ke semester berikutnya dengan tangan kosong, melainkan dengan hati yang telah dibentuk oleh penyertaan Tuhan. Dengan itu, kita bisa melangkah maju—lebih siap, lebih peka, dan lebih percaya bahwa Tuhan tetap setia.

Penutup

     Akhir semester bukan hanya tentang selesai atau tidaknya tugas dan ujian, tetapi tentang bagaimana kita belajar melihat tangan Tuhan bekerja dalam setiap prosesnya. Entah kita sedang berada di musim panen sukacita atau tengah melewati gurun kekecewaan, satu hal yang tetap: kasih Tuhan tidak pernah berubah.

     Mengucap syukur di segala musim adalah bentuk iman yang hidup. Iman yang percaya bahwa Tuhan bekerja bukan hanya dalam keberhasilan, tetapi juga dalam perjuangan. Maka, mari kita tutup semester ini bukan hanya dengan mengecek nilai atau menyusun rencana liburan, tetapi dengan membuka hati untuk bersyukur—atas setiap pelajaran, setiap tantangan, dan setiap kebaikan Tuhan yang mungkin tak selalu terlihat, tapi selalu ada.

     Sekarang, saatnya bertanya pada diri sendiri: Apa yang ingin aku syukuri dari semester ini? Apa yang Tuhan sedang ajarkan kepadaku? Luangkan waktu untuk merenung, mencatat, atau bahkan membagikan kesaksianmu pada orang lain. Biarlah syukur kita menjadi terang yang memuliakan Tuhan—di mana pun, dan kapan pun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membangun dan Menguatkan

Membangun dan Menguatkan “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani 10:24-25) Dalam menjalani kehidupan ini, tak dapat dipungkiri bahwa masalah bisa saja datang silih berganti. Masalah-masalah yang datang terkadang mampu kita hadapi seorang diri tetapi ada kalanya masalah itu terlalu berat dan kita membutuhkan topangan dari orang lain. Tuhan Yesus sendiri memang menciptakan manusia sebagai makhluk sosial dan bukan makhluk individualis. Dalam Kejadian 2:18 berkata “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Firman ini memiliki arti bahwa manusia memang diciptakan memiliki keterkaitan  dengan sesamanya. Kita sebagai manusia meman...

Renungan Bulan Desember

Firman Tuhan Adalah Benih Yang Menghidupkan ( Mzm. 1:1-3 ; Luk. 8:11-15) Mazm. 1:1-3    Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. Firman Tuhan adalah makanan rohani orang percaya untuk bertumbuh akan pengenalan kepada Yesus dan kebenaran-Nya. Namun dewasa ini, banyak orang Kristen yang enggan membaca Alkitab dengan berbagai alasan. Padahal, jika kita membaca dalam Mzm. 1:1-3, seharusnya kita senantiasa membaca bahkan merenungkan Firman Tuhan agar kita menjadi orang yang diberkati di dalam Dia. Menjadi orang yang diberkati bukan menjadi tujuan hidup orang yang hidup di dalam Tuhan, melainkan suatu anug...

Review Pendalaman Alkitab

DOA Waktu Pelaksanaan      : Selasa, 12 Oktober 2021 Pemateri                       : Ev. Pieter G. O. Sunkudon Jumlah Peserta             : 47 orang Ayat Alkitab                : Matius 6:5-15      Doa merupakan kebiasaan atau gaya hidup setiap orang percaya sehingga seringkali dikatakan doa sebagai nafas hidup orang percaya. Seringkali kita berdoa tetapi tidak juga didengar atau dibalaskan oleh Tuhan. Hal ini dikarenakan beberapa kesalahan yang kita perbuat ketika berdoa. Dalam Matius 6:5-8, Tuhan Yesus mengajarkan bagaimana seharusnya sikap seseorang dalam berdoa. Dalam firman Tuhan tersebut, dikatakan bahwa seringkali banyak orang yang berdoa seperti orang munafik yang berdoa di tempat umum untuk dilihat atau dikenal...