MENJADI WARGA DUNIA: GCE SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF By ALAN CHRISTIAN SINGKALI Youth Representative of Indonesia YMCA
Perubahan adalah hal yang mutlak terjadi di muka bumi ini. Berbagai hal berubah, mulai dari keadaan alam semesta (cosmos), manusia (anthrop), dan budaya (culture) sebagai produk dari kekuatan berpikir manusia. Dari masa yang lampau, manusia terus belajar menemukan segala hal dari kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, belajar menghindari akibat buruk dari semua bentuk kesalahan-kesalahan, dan menjadikan pengalaman (experience) sebagai pelajaran yang berharga.
Sejak zaman dahulu manusia telah hidup bersosialisasi dengan manusia lain dalam komunitasnya, bagaimanapun ukuran volume komunitas tersebut, seperti keluarga, desa, kota, Negara, dan sebagainya. Manusia harus bersosialisasi demi untuk bertahan hidup, membuat manusia diandaikan sebagai zoon politicon (makhluk sosial/ binatang politik). Hubungan-hubungan ini terus berubah, seiring kepentingan manusia, kelompok, desa, Negara dan lainnya. Menurut Thomas Hobbes dalam Leviathan, kadang manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus) hanya untuk mempertahankan kelangsungan dan eksistensi hidupnya.
Jika dahulu kala manusia hanya terhubung dengan manusia lainnya hanya dengan kapasitas terbatas, membuat perubahan itu berlangsung sangat lambat karena pengaruh yang saling mengikat itu tidak bergerak cepat. Pengaruh itu hanya berada dalam komunitas yang cenderung homogen, seperti sesama keluarga, sesama etnis, dan lain-lain. Namun sekarang batasan-batasan pengaruh itu sudah hilang, di mana semua manusia bisa terhubung satu sama lain.
Era peradaban manusia terdiri dari beberapa tahapan dan dipenuhi oleh dominasi, antara lain:
1. Era manusia purba, anggotanya berkumpul untuk mendapat perlindungan satu sama lain, membuat pemimpin (mutlak laki-laki dewasa) menjadi dominan tunggal dalam kelompok itu. Dia berhak atas segala resources yang ada, antara lain wanita, makanan, dan hak berkuasa penuh atas anggota kelompok.
2. Era kerajaan & perbudakan, sekelompok komunitas (dalam sebuah wilayah) bersatu dalam satu kekuatan politik atas kesamaan identitas mengangkat Raja/pemimpin sebagai simbol politik untuk melindungi diri dan komunitas dari kekuatan politik lainnya. Legitimasi pemimpin biasa lahir karena keyakinan bahwa dia adalah inkarnasi atau keturunan dewa atau supranatural, legitimasi ini digunakan untuk menstratifikasi manusia dalam masyarakat menjadi beberapa tingkatan yang memiliki hak dan tanggungjawab tidak sama, sehingga bisa mengakibatkan dominasi strata yang lebih tinggi terhadap strata yang lebih rendah. Manusia strata paling rendah dijadikan komoditi atau aset bagi strata yang lebih tinggi, inilah yang menciptakan perbudakan.
3. Era kolonialisasi, era ini muncul karena keinginan dari kelompok politik di sebuah wilayah untuk mengekspansi wilayah lain karena faktor keterbatasan sumber daya alam sebagai alasan bagaimana mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidup. Mereka mendominasi manusia dan sumber alam di wilayah lain itu. Pasca era ini, muncullah Negara-negara akibat perjuangan kemerdekaan atas penjajahan.
4. Era globalisasi, dimana Negara-negara dan bangsa-bangsa bersatu untuk mempertahankan eksistensinya dan kelangsungan hidupnya. Negara-negara dan bangsa-bangsa melakukan hubungan yang mobilisasinya lebih cepat dikarenakan perkembangan teknologi yang semakin pesat. Teknologi digunakan sebagai alat untuk mendominasi yang lain.
Jika ketiga era pertama memiliki bagian yang terbatas untuk didominasi, pada era globalisasi identitas pendominasiannya menjadi sangat kompleks. Inilah tantangan globalisasi, dimana produknya tidak saja mempermudah kehidupan manusia tapi juga “menjajah” manusia.
Konflik Manusia akibat dari Globalisasi
Pada era awal manusia berperang atau bertarung karena perebutan tanah sebagai wilayah kekuasaan dan juga sumber daya yang ada didalamnya, dikarenakan tanah dan wilayah semakin terbatas. Selain itu perang perebutan wilayah terpicu soal identitas historis. Contohnya perang antara Imigran Eropa di Amerika Utara melawan Pribumi Indian, Perang Dunia 1 dan 2, serta perang Yahudi Israel melawan Arab Palestine. Perkembangan dunia selanjutnya, membuat perang antar manusia memperebutkan minyak bumi sebagai energi utama industrialisasi, hal ini disebabkan minyak bumi semakin terbatas seperti yang terjadi di Timur Tengah (Middle East). Menurut beberapa ahli, perang selanjutnya untuk memperebutkan pangan dan air, tentu saja karena pasokan pangan dan air bersih akan menjadi terbatas di hari kemudian.
Tanggungjawab sebagai manusia di era globalisasi, bukan lagi hanya sebagai anggota kelompok, anggota masyarakat sebuah kota, atau warga sebuah Negara. Namun tanggungjawab itu lebih besar dan lebih menyeluruh lagi, sebagai warga dunia. Kesadaran akan rentannya konflik antar Negara karena terbatasnya sumber daya, wilayah, pangan, dan air harus membuat kita sebagai warga dunia mengambil tindakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bumi dan eksistensi manusia. Persoalan-persoalan yang terjadi sebagai akibat dari negative impacts dari produk globalisasi muncul karena stratifikasi manusia ikut juga mengglobal. Akses-akses strata bawah terhadap sumber daya dan wilayah semakin terbatas, akibatnya di kota-kota besar kita melihat banyak kemiskinan (poverty), kelaparan (starvation), kepadatan dan kelebihan jumlah penduduk (over-population), dan lain-lain. Kesadaran akan hal tersebut, harus juga dirasakan secara lebih holistik, seperti kesadaran akan ketidakadilan sosial (social injustice and inequities), perbedaan (diversity), dan kesadaran akan pentingnya pembangunan terus-menerus (sustainable development).
Ketidakadilan sosial (social injustice) yang ditunjukkan dengan kesenjangan antara Negara kaya (negara industri) dengan Negara berkembang dan miskin. Protokol Kyoto yang menghasilkan klausul tentang Perdagangan Karbon (carbon trade) adalah salah satu ketidakadilan yang dilegalisasi oleh perjanjian hukum. Politik dumping serta penetapan pajak dan bea masuk barang impor yang tidak sesuai, menempatkan Negara lemah hanya sebagai pasar yang empuk oleh produk-produk modal besar dan mengakibatkan rusaknya perekonomian lokal yang modalnya terbatas. Produk-produk yang lebih murah dari perusahaan besar bersaing dengan produk lokal yang harganya tidak kompetitif.
Perilaku konsumtif sebagai ekses dari budaya-budaya Negara industri menjalar ke Negara-negara berkembang dan miskin tersebut. Perilaku konsumtif dan tidak hemat ini semakin menyuburkan
industri tersebut, dan merusak alam karena sumber daya alam semakin cepat terkuras dan tidak terbarukan. Penggunaan tissue dan deterjen di hotel-hotel dalam jumlah banyak juga mengakibatkan menumpuknya sampah dan limbah yang mencemari air.
Industri pariwisata yang meningkat di beberapa Negara, menyedot konsumsi dalam jumlah besar dengan harga yang lebih murah. Sehingga walaupun kelihatannnya meningkatkan jumlah devisa Negara namun tidak menghidupkan perekonomian mikro yang real. Justru menambah dampak-dampak negatif yang semakin besar dari pariwisata. Budaya lokal sebagai hal yang harus dipertahankan semakin lama semakin tercemar oleh budaya luar. Perkembangan industri pariwisata yang juga pesat, membuka jalan dan peluang untuk menciptakan produk-produk wisata lainnya, yang kadang merusak tatanan dan norma sebagai budaya yang harus dipertahankan, contohnya prostitusi. Hal ini juga berkembang lebih jauh lagi, sebagai ancaman serius seperti contoh kasus di Thailand, Kamboja dan Filipina yaitu prostitusi anak. Dari kacamata industri, ini adalah bisnis yang menggiurkan. Sebuah lembaga NGO bernama ECPAT berbasis di Thailand, mengadvokasi dan merilis data tentang ini bahwa Asia Tenggara merupakan salah satu penyedia utama jasa prostitusi anak.
Global Citizenship Education sebagai alternatif
Setelah diinisiasi oleh Tozanso Youth Roundtable on Globalization and Global Citizenship di Tozanso-Jepang pada Juli 2008, GCE diyakini sebagai solusi alternatif untuk memutus mata rantai dehumanisasi sebagai dampak globalisasi. Isu-isu yang diangkat seputar persoalan-persoalan global yang menyangkut masalah lingkungan, kesenjangan sosial, gender, dan sebagainya, menarik minat pemuda untuk terlibat memecahkan masalah-masalah tersebut. Mentransformasi nilai-nilai GCE kepada pemuda, kemudian menjadi agenda rutin Young Men’s Christian Association (YMCA) khususnya Asia Pasific Alliance of YMCA’s (APAY). Pemuda dinilai lebih dinamis dan produktif dalam mengimplementasi gagasan GCE tersebut.
Misalnya, sebagai salah satu produk dari YMCA, GATN atau Global Alternatif Tourism Network diharapkan bisa mengejawantahkan gagasan GCE melalui pemuda. GATN mendesain field trip ke berbagai Negara tujuan dengan YMCA lokal sebagai tuan rumah. Pariwisata alternatif ini tidak hanya memusatkan perhatian pada kepuasan visitor atau objek wisata sebagai orientasi utama, tapi juga bagaimana metodenya menjadi transformatif bagi pelakunya. Contoh, kunjungan ke pusat-pusat community service YMCA, homestay di rumah-rumah masyarakat lokal, camp, dan sebagainya. Dalam GATN nilai-nilai GCE diupayakan dapat melawan mainstream dari pariwisata itu sendiri yang biasanya sangat tidak ramah lingkungan dan tidak ramah sosial. GATN memilih pusat-pusat community service agar bisa menanamkan nilai berbagi kepada pengunjung untuk mereduksi kesenjangan sosial, GATN juga memilih homestay daripada hotel untuk memberdayakan masyarakat lokal dan menghidupkan perekonomian mereka. Begitupula dengan ide-ide kreatif yang lain semisal sociopreneur yaitu pembangunan ekonomi kreatif yang berbasis masyarakat, bertujuan untuk mematahkan industrialisasi yang hanya menguntungkan korporasi pemodal.
Setelah mengikuti GATN Manager Training di Chiangmai, Thailand pada April 2014, dan dilanjutkan Global Citizenship Institute di Baguio, Philippines pada April 2015, saya terinspirasi untuk
mengimplementasi ide tersebut dalam bentuk nyata sesuai konteks kebutuhan lokal. Hal ini harus didahului oleh analisis sosial dan observasi yang mendalam tentang kompleksitas masyarakat di mana kita tinggal. Setelah itu, merumuskan solusi dalam bentuk Action Plan yang bersifat short term dan long term. Selain itu, ide-ide gagasan ini harus ditransformasikan pula ke pemuda-pemuda dan kelompok-kelompok pemuda di tempat-tempat lain yang memiliki konteks persoalan yang beraneka ragam.
Perlu kesadaran kita bahwa globalisasi sedang membawa dunia ini berubah ke bentuk yang lain, dan pemuda harus siap dengan perubahan itu.
Contact Me (alan_singkali@yahoo.co.id)
Sejak zaman dahulu manusia telah hidup bersosialisasi dengan manusia lain dalam komunitasnya, bagaimanapun ukuran volume komunitas tersebut, seperti keluarga, desa, kota, Negara, dan sebagainya. Manusia harus bersosialisasi demi untuk bertahan hidup, membuat manusia diandaikan sebagai zoon politicon (makhluk sosial/ binatang politik). Hubungan-hubungan ini terus berubah, seiring kepentingan manusia, kelompok, desa, Negara dan lainnya. Menurut Thomas Hobbes dalam Leviathan, kadang manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus) hanya untuk mempertahankan kelangsungan dan eksistensi hidupnya.
Jika dahulu kala manusia hanya terhubung dengan manusia lainnya hanya dengan kapasitas terbatas, membuat perubahan itu berlangsung sangat lambat karena pengaruh yang saling mengikat itu tidak bergerak cepat. Pengaruh itu hanya berada dalam komunitas yang cenderung homogen, seperti sesama keluarga, sesama etnis, dan lain-lain. Namun sekarang batasan-batasan pengaruh itu sudah hilang, di mana semua manusia bisa terhubung satu sama lain.
Era peradaban manusia terdiri dari beberapa tahapan dan dipenuhi oleh dominasi, antara lain:
1. Era manusia purba, anggotanya berkumpul untuk mendapat perlindungan satu sama lain, membuat pemimpin (mutlak laki-laki dewasa) menjadi dominan tunggal dalam kelompok itu. Dia berhak atas segala resources yang ada, antara lain wanita, makanan, dan hak berkuasa penuh atas anggota kelompok.
2. Era kerajaan & perbudakan, sekelompok komunitas (dalam sebuah wilayah) bersatu dalam satu kekuatan politik atas kesamaan identitas mengangkat Raja/pemimpin sebagai simbol politik untuk melindungi diri dan komunitas dari kekuatan politik lainnya. Legitimasi pemimpin biasa lahir karena keyakinan bahwa dia adalah inkarnasi atau keturunan dewa atau supranatural, legitimasi ini digunakan untuk menstratifikasi manusia dalam masyarakat menjadi beberapa tingkatan yang memiliki hak dan tanggungjawab tidak sama, sehingga bisa mengakibatkan dominasi strata yang lebih tinggi terhadap strata yang lebih rendah. Manusia strata paling rendah dijadikan komoditi atau aset bagi strata yang lebih tinggi, inilah yang menciptakan perbudakan.
3. Era kolonialisasi, era ini muncul karena keinginan dari kelompok politik di sebuah wilayah untuk mengekspansi wilayah lain karena faktor keterbatasan sumber daya alam sebagai alasan bagaimana mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidup. Mereka mendominasi manusia dan sumber alam di wilayah lain itu. Pasca era ini, muncullah Negara-negara akibat perjuangan kemerdekaan atas penjajahan.
4. Era globalisasi, dimana Negara-negara dan bangsa-bangsa bersatu untuk mempertahankan eksistensinya dan kelangsungan hidupnya. Negara-negara dan bangsa-bangsa melakukan hubungan yang mobilisasinya lebih cepat dikarenakan perkembangan teknologi yang semakin pesat. Teknologi digunakan sebagai alat untuk mendominasi yang lain.
Jika ketiga era pertama memiliki bagian yang terbatas untuk didominasi, pada era globalisasi identitas pendominasiannya menjadi sangat kompleks. Inilah tantangan globalisasi, dimana produknya tidak saja mempermudah kehidupan manusia tapi juga “menjajah” manusia.
Konflik Manusia akibat dari Globalisasi
Pada era awal manusia berperang atau bertarung karena perebutan tanah sebagai wilayah kekuasaan dan juga sumber daya yang ada didalamnya, dikarenakan tanah dan wilayah semakin terbatas. Selain itu perang perebutan wilayah terpicu soal identitas historis. Contohnya perang antara Imigran Eropa di Amerika Utara melawan Pribumi Indian, Perang Dunia 1 dan 2, serta perang Yahudi Israel melawan Arab Palestine. Perkembangan dunia selanjutnya, membuat perang antar manusia memperebutkan minyak bumi sebagai energi utama industrialisasi, hal ini disebabkan minyak bumi semakin terbatas seperti yang terjadi di Timur Tengah (Middle East). Menurut beberapa ahli, perang selanjutnya untuk memperebutkan pangan dan air, tentu saja karena pasokan pangan dan air bersih akan menjadi terbatas di hari kemudian.
Tanggungjawab sebagai manusia di era globalisasi, bukan lagi hanya sebagai anggota kelompok, anggota masyarakat sebuah kota, atau warga sebuah Negara. Namun tanggungjawab itu lebih besar dan lebih menyeluruh lagi, sebagai warga dunia. Kesadaran akan rentannya konflik antar Negara karena terbatasnya sumber daya, wilayah, pangan, dan air harus membuat kita sebagai warga dunia mengambil tindakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bumi dan eksistensi manusia. Persoalan-persoalan yang terjadi sebagai akibat dari negative impacts dari produk globalisasi muncul karena stratifikasi manusia ikut juga mengglobal. Akses-akses strata bawah terhadap sumber daya dan wilayah semakin terbatas, akibatnya di kota-kota besar kita melihat banyak kemiskinan (poverty), kelaparan (starvation), kepadatan dan kelebihan jumlah penduduk (over-population), dan lain-lain. Kesadaran akan hal tersebut, harus juga dirasakan secara lebih holistik, seperti kesadaran akan ketidakadilan sosial (social injustice and inequities), perbedaan (diversity), dan kesadaran akan pentingnya pembangunan terus-menerus (sustainable development).
Ketidakadilan sosial (social injustice) yang ditunjukkan dengan kesenjangan antara Negara kaya (negara industri) dengan Negara berkembang dan miskin. Protokol Kyoto yang menghasilkan klausul tentang Perdagangan Karbon (carbon trade) adalah salah satu ketidakadilan yang dilegalisasi oleh perjanjian hukum. Politik dumping serta penetapan pajak dan bea masuk barang impor yang tidak sesuai, menempatkan Negara lemah hanya sebagai pasar yang empuk oleh produk-produk modal besar dan mengakibatkan rusaknya perekonomian lokal yang modalnya terbatas. Produk-produk yang lebih murah dari perusahaan besar bersaing dengan produk lokal yang harganya tidak kompetitif.
Perilaku konsumtif sebagai ekses dari budaya-budaya Negara industri menjalar ke Negara-negara berkembang dan miskin tersebut. Perilaku konsumtif dan tidak hemat ini semakin menyuburkan
industri tersebut, dan merusak alam karena sumber daya alam semakin cepat terkuras dan tidak terbarukan. Penggunaan tissue dan deterjen di hotel-hotel dalam jumlah banyak juga mengakibatkan menumpuknya sampah dan limbah yang mencemari air.
Industri pariwisata yang meningkat di beberapa Negara, menyedot konsumsi dalam jumlah besar dengan harga yang lebih murah. Sehingga walaupun kelihatannnya meningkatkan jumlah devisa Negara namun tidak menghidupkan perekonomian mikro yang real. Justru menambah dampak-dampak negatif yang semakin besar dari pariwisata. Budaya lokal sebagai hal yang harus dipertahankan semakin lama semakin tercemar oleh budaya luar. Perkembangan industri pariwisata yang juga pesat, membuka jalan dan peluang untuk menciptakan produk-produk wisata lainnya, yang kadang merusak tatanan dan norma sebagai budaya yang harus dipertahankan, contohnya prostitusi. Hal ini juga berkembang lebih jauh lagi, sebagai ancaman serius seperti contoh kasus di Thailand, Kamboja dan Filipina yaitu prostitusi anak. Dari kacamata industri, ini adalah bisnis yang menggiurkan. Sebuah lembaga NGO bernama ECPAT berbasis di Thailand, mengadvokasi dan merilis data tentang ini bahwa Asia Tenggara merupakan salah satu penyedia utama jasa prostitusi anak.
Global Citizenship Education sebagai alternatif
Setelah diinisiasi oleh Tozanso Youth Roundtable on Globalization and Global Citizenship di Tozanso-Jepang pada Juli 2008, GCE diyakini sebagai solusi alternatif untuk memutus mata rantai dehumanisasi sebagai dampak globalisasi. Isu-isu yang diangkat seputar persoalan-persoalan global yang menyangkut masalah lingkungan, kesenjangan sosial, gender, dan sebagainya, menarik minat pemuda untuk terlibat memecahkan masalah-masalah tersebut. Mentransformasi nilai-nilai GCE kepada pemuda, kemudian menjadi agenda rutin Young Men’s Christian Association (YMCA) khususnya Asia Pasific Alliance of YMCA’s (APAY). Pemuda dinilai lebih dinamis dan produktif dalam mengimplementasi gagasan GCE tersebut.
Misalnya, sebagai salah satu produk dari YMCA, GATN atau Global Alternatif Tourism Network diharapkan bisa mengejawantahkan gagasan GCE melalui pemuda. GATN mendesain field trip ke berbagai Negara tujuan dengan YMCA lokal sebagai tuan rumah. Pariwisata alternatif ini tidak hanya memusatkan perhatian pada kepuasan visitor atau objek wisata sebagai orientasi utama, tapi juga bagaimana metodenya menjadi transformatif bagi pelakunya. Contoh, kunjungan ke pusat-pusat community service YMCA, homestay di rumah-rumah masyarakat lokal, camp, dan sebagainya. Dalam GATN nilai-nilai GCE diupayakan dapat melawan mainstream dari pariwisata itu sendiri yang biasanya sangat tidak ramah lingkungan dan tidak ramah sosial. GATN memilih pusat-pusat community service agar bisa menanamkan nilai berbagi kepada pengunjung untuk mereduksi kesenjangan sosial, GATN juga memilih homestay daripada hotel untuk memberdayakan masyarakat lokal dan menghidupkan perekonomian mereka. Begitupula dengan ide-ide kreatif yang lain semisal sociopreneur yaitu pembangunan ekonomi kreatif yang berbasis masyarakat, bertujuan untuk mematahkan industrialisasi yang hanya menguntungkan korporasi pemodal.
Setelah mengikuti GATN Manager Training di Chiangmai, Thailand pada April 2014, dan dilanjutkan Global Citizenship Institute di Baguio, Philippines pada April 2015, saya terinspirasi untuk
mengimplementasi ide tersebut dalam bentuk nyata sesuai konteks kebutuhan lokal. Hal ini harus didahului oleh analisis sosial dan observasi yang mendalam tentang kompleksitas masyarakat di mana kita tinggal. Setelah itu, merumuskan solusi dalam bentuk Action Plan yang bersifat short term dan long term. Selain itu, ide-ide gagasan ini harus ditransformasikan pula ke pemuda-pemuda dan kelompok-kelompok pemuda di tempat-tempat lain yang memiliki konteks persoalan yang beraneka ragam.
Perlu kesadaran kita bahwa globalisasi sedang membawa dunia ini berubah ke bentuk yang lain, dan pemuda harus siap dengan perubahan itu.
Contact Me (alan_singkali@yahoo.co.id)
Komentar
Posting Komentar