Inclusion: A Tale Of Rose And Carnation
Aku
adalah sekuntum mawar di taman herbras.
Liar dan
terhimpit. Berbeda tetapi menyakiti mata.
Berharap
masa depan penuh kepastian tanpa tantangan dan cobaan
Berdoa,
berseru kepada Tuhan— memohon permintaan sederhana—
“Biarkan
hidup ini kembali seperti semula.”
Permintaan
itu konyol dan tentu— ia tak mendapat jawaban.
Sampai
Ia, Sang Pekebun menempatkan sebuah anyelir disisi mawar,
dan dunia
menjadi lebih indah.
-inclusion-
27 Maret
2019.
Hari ini
seharusnya hari yang indah. Seharusnya.
Berbuket
bunga dengan kartu ucapan. Topi toga dan jubah hitam selutut. Duduk di salah
satu kursi terhormat, mendapat predikat cumlaude.
Mulai
hari ini seharusnya aku bisa melangkah ke dunia kerja, menjadi bagian dari
masyarakat dan bertanggung jawab atas diriku sendiri dan masa depanku.
Seharusnya.
Jika,
duniaku tak berubah gelap.
“Sudah
kubilang berapa kali, ma!” menepis tangan mama dengan emosi aku membentak,
“Mama dan papa tidak mengerti apa yang Eli rasakan! Diantara kita bertiga,
siapa yang buta!? Eli tidak bisa apa-apa! Mungkin lebih baik mama dan papa
kalau nganggap Eli beban, bunuh saja aku! Atau buang! Eli juga gak suka dipaksa
terus dan jadi tukang numpang!”
Masih
terbawa emosi, aku mendesah setelah membalas mama. Kuusap air mata yang
mengalir dari wajahku sedari tadi dan berusaha bernafas normal.
Namaku
Elizabeth dan tahun ini aku berumur 22 tahun. Jika saja 2 tahun lalu sebuah
kecelakaan tidak menimpaku pada saat aku sedang menuju kampus, aku akan lulus
sebagai sarjana ekonomi Universitas Hasanuddin bersama teman-teman seangkatanku
yang lain. Tetapi, sepertinya keberuntungan tidak disisiku dan disinilah aku.
Tersangkut dengan mama dan papa yang berusaha memperbaikiku menjadi pribadi
yang lebih baik menurut mereka.
“Elizabeth,
mama sama papa cuma mau yang terbaik untuk kamu.” Jelas Mama, mendekat,
tangannya memegang pundakku. “Mama sama papa memang tidak tahu bagaimana
rasanya jadi kamu tetapi mama sama papa akan berusaha apapun yang bisa kami
lakukan agar kamu bahagia nak jika suatu saat kami sudah pergi.”
“Dan mama
rasa ini yang terbaik?” aku terkekeh dengan sinis. “Aku buta dan mama mau
memberiku les melukis? Apa mama tidak mengejekku?”
“Mama
tidak bercanda Eli.” Jawab Mama dengan nada lembut. “Theodore juga sama dengan
kamu, dia mengidap hyperthymesia tetapi dia bisa jadi pelukis yang handal.”
(*hyperthymesia: ingatan super prima,
sebuah kelainan dimana pengidapnya bisa mengingat detail hal-hal yang terjadi
dalam hidupnya.)
“Tapi dia
tidak buta, ma.” Balasku, mendesah. Jika perdebatan seperti ini sudah mama buka
lagi, aku tau pembicaraan itu tak akan berujung dan akan berakhir dengan kata—
“Dicoba
aja dulu, ya?” Katanya. Mama memelukku dan berdiri, langkah kakinya makin lama
makin samar dan sepertinya aku sudah sendiri.
“Hhh..”
menghela nafas, aku membaringkan diri di tempat tidur dan masuk ke dunia mimpi.
-inclusion-
Nama : Grace Johanna Leonardo Tempat,Tanggal Lahir : Makassar,22 Maret 2002 Jurusan/Angkatan : Akuntansi/2019 |
Dalam
kelemahanku aku berdoa, Bapa Sorgawi semoga engkau mendengarkan, rintihan yang
tidak terucapkan. Rancangaku bukan rancanganMu, jalanku bukan jalanMu. Ajar
aku, mengerti rencanaMu…
…………………………………
……KRINGGG KRINGGGG
Suara
handphone ku berdering disamping ranjang, menandakan seseorang menelpon.
Berhasil meraih ponselku, aku mengangkatnya dan menaruh di telingaku.
“Halo? Liz?” mendengar suara dari ujung telfon, aku
segera mengenalinya dan menjawab.
“Carol.” Carol adalah temanku semenjak SMP. Sempat terpisah selama SMA, kami kembali
bertemu di bangku perkuliahan sebagai teman satu fakultas. “Apa kabar?” jawabku
tersenyum, sudah lama tak berkabar dengannya.
Carol mulai bercerita tentang harinya. Tentang acara
wisuda tadi siang dan hal-hal yang kulewatkan. Mendengarnya bercerita, aku
menjadi kepahitan sendiri tetapi berusaha menanggap positif agar dia tidak
tersinggung.
“Dan kamu tau gak, si Alex lewat gitu aja waktu mau
nyalamin WR3 waktu turun baru dia sadar. Untung udah lulus.” Cerita Carol
sambil tertawa mengingat kejadian tadi siang.
“Heh.” Aku tersenyum sinis. “Di acara sepenting wisuda
dia kayak begitu? Seharusnya dia bersyukur bahkan dia bisa wisuda.”
Seketika tawa Carol terhenti dan hening tiba. Meski
tidak melihatnya dan bersamanya, aku yang telah mengenali Carol semenjak lama
tahu— ia tersenyum sedih dan berkata padaku, “Heran aku sama kamu Liz.”
“Heran?”
tanyaku balik.
“Iya.”
Jawabnya, “Waktu kuliah dulu kamu gak gini-gini amat.”
“Maksudnya?”
tanyaku, mulai tersinggung.
“Ya,
kayak gitu. Negatif banget.” Jawabnya, “Padahal dulu waktu semester awal aktif
banget kamu ikut PMKO, UKM dan kelompok belajar—”
“Caroline.”
Potongku, “Hentikan. Itu di masa lalu.”
Ada
beberapa jeda sebelum dia melanjutkan, “Sampai kapan kamu mau gi—”
Mendengar
nadanya yang mengegas, kututup telponnya dan kembali berbaring. Air mata secara
tidak sadar mengalir melalui pelupuk mataku.
‘Tak ada
yang mengerti. Tak ada..’
-inclusion-
“Sampai kapan kamu mau gi—”
mendengar nada dari ponselnya, Carol melihat layar ponselnya, “Yah, ditutup.”
‘Apa aku terlalu mendorongnya?’
pikir Carol, gelisah. Ia tidak ingin Elizabeth merasa dikasihani. Justru, Carol
sangat menyayangkan temannya. Padahal sebelum kecelakaan 2 tahun lalu,
Elizabeth adalah seorang yang sangat cerah dan berbakat. Orang yang punya masa
depan yang jelas dan sikap yang optimis.
“Tadi itu, Elizabeth?”
“Oh Tuhan!” terkaget mendengarnya
tiba-tiba berbicara, Carol berkata, “IHH! Kaget!”
“Ye.. maaf, maaf.” Jawabnya menatap
Carol dengan tatapan tak bersalah.
“Hhh..” Carol menatapnya tidak yakin
tetapi segera melupakan hal itu. Ia mengangguk, kembali menatap ponsel
ditangannya, “Iya, itu tadi Elizabeth. Temanku yang buta itu, kenapa
memangnya?”
“Tidak.” Mengelus dagunya, ia
berkata, “Hanya saja, ia menarik.”
Mendekati Carol dan duduk di
sampingnya, ia melanjutkan, “Keberatan untuk bercerita lebih lanjut?”
-inclusion-
Hari
minggu. Hari para umat beristirahat setelah 6 hari yang panjang untuk bekerja
dan beraktivitas. Terkhusus bagi umat kristiani, hari minggu adalah hari untuk
beribadah dan pergi ke gereja.
Keluargaku
juga tak ada bedanya. Mama dan papa adalah orang Kristen dan sebagai anaknya
aku juga. Mama dan papa selalu mengajakku ke gereja dan di masa lalu, aku
bahkan aktif dalam pelayanan. Tetapi itu di masa lalu. Sekarang aku hanya pergi setiap hari minggu
saat ibadah umum. Miris bukan?
“Roma 8:26,” mulai membacakan nats alkitab mingguan, suara
pendeta terdengar keseluruhan ruangan yang dengan tenang mendengar. “Demikian
juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana
sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah
dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.”
Tidak berbeda dari ibadah minggu lainnya, ibadah hari
ini selesai setelah 2 jam. Menyuruhku menunggu di kursi, mama dan papa pergi
menyapa teman-teman pengurus. Tidak berbeda denganku dulu, mama dan papa memang
cukup aktif di gereja. Mungkin itu juga alasan mengapa aku dulu aktif ikut
komisi remaja.
“Ah,
bosan, mengapa mama dan papa begitu lama, aku mau pulang saja.” Mendengar
sebuah suara dari sebelah kananku aku berbalik meski tak berguna, “Begitu kan,
pikirmu?”
“Kau salah besar tuan.” Jawabku.
Hendak bertanya siapa dirinya, aku tak sempat karna ia langsung bertanya.
“Tebakanku salah? Hmm..”
balasnya dengan nada menyayangkan,
“Padahal aku pikir aku sudah bisa menebak benar kau itu orang seperti apa.”
“Kau bahkan tidak mengenalku, kau
tak bisa—” balasku tetapi sekali lagi dipotong.
“Setidaknya aku tahu satu, dua hal.”
Jawabnya. Bisa kubayangkan wajahnya tersenyum menyeringai.
“Kau,” ia memulai.
“Buta?” balasku cepat, menebak apa
yang akan ia katakan.
“Aku belum mengatakan apapun dan kau
terlalu cepat membuat asumsi.” Jawabnya mendesah. “Ah ya itu satu tentangmu, terlalu cepat
berpikiran negatif.”
“Kau sendiri berbicara.” Balasku,
“Siapa yang duluan membuat asumsi diantara kita, huh? Lagipula siapa—”
“Kau terkena kecelakaan 2 tahun
lalu, menjadi buta dan mengidap sindrom fotografik yang membuatmu mengingat
detail sebuah kejadian.” Jelasnya membuat mulutku membelalak. Ia mendekat dan
berbisik ditelingaku, “Aku tahu cukup banyak hal tentangmu, Elizabeth.”
Ia terkekeh, “Tetapi, tidak akan
menyenangkan jika kubeberkan semua disini, kan?” Mendengarnya aku langsung
menepisnya dan berdiri dari kursiku. Apa dia!? Stalker!?
Aku bertanya-tanya. Tetapi seperti
tau, ia tiba-tiba berkata, “Sekedar informasi, aku bukan stalker.” Jelasnya.
Kudengar ia bangkit dari kursinya dan dihadapannya, aku masih menjaga jarak.
Ia menepuk pundakku sebelum berjalan
dan berkata, “Sampai jumpa di kelas melukis.”
-inclusion-
“Selamat siang, Elizabeth.” Setelah
pembicaraan yang panjang serta mendiskusikan beberapa syarat prasyarat
disinilah aku— setuju untuk mengikuti kelas.
“Ya.” Balasku singkat hanya ingin
memulai kelas dan mengakhirinya dengan cepat.
“No
greetings?” tanyanya, sok inggris. Memberinya tatapan serius dari arah
suaranya, ia menjawab. “Kenapa? Kau tidak tahu bahasa inggris?” tanyanya sekali
lagi seolah tidak peka.
“Kau ini,” mulai ku, “Kau tidak
mengerti moral dasar? Kau tidak lupa apa yang kau lakukan terakhir kali kita
bertemu?”
“Hee..” nadanya terkesan mesum, “Kau
masih mengingatnya?”
Mendengar jawabannya, aku langsung
membentaknya, “Jangan keluar topik!”
“Siapa yang paling pertama keluar
topik, nona?” katanya.
‘Cukup.’ Batinku, sudah tidak bisa
menghadapi pria ini.
“Aku berhenti—” kataku, berdiri dan
hendak keluar dari ruangan tersebut sebelum tangannya menahanku.
“Terburu-buru, nona?”
“Lepaskan aku!” bentakku, meraih
tongkatku.
“Baik, baik.” Balasnya, melepaskan
tanganku, “Aku minta maaf atas yang terakhir kali. Geez… Kau benar-benar tidak merasa kau terlalu cepat menyerah?”
Mengangkat tongkatku dan hendak
menghantamnya, tongkatku berhenti diudara— sepertinya ia menahannya.
“..dan emosional.” Mendengarnya aku
terhenti, melonggarkan pegangan tongkatku. Theodore menghela nafas dan kini aku
merasa seperti anak kecil yang sedang diajar.
“Kau mengerti apa..” bisikku lemah.
Entah mengapa aku tak bisa membentaknya. Apakah karena apa yang ia katakan
benar?
“Aku merasa, aku memang berubah
menjadi pribadi yang tidak aku inginkan..” jawabku, terbuka— yang membuat
diriku sendiri terkejut. “Tetapi ini tidak semudah kata orang. Tidak menyerah,
menjadikan kelemahan menjadi kekuatan.”
Aku terkekeh, mengingat kata
orang-orang— mama, papa, tante dan sepupu-sepupu saat aku terpuruk, “Ini bahkan
melampaui ekspetasiku. Aku tak bisa melakukan apa-apa. Aku tak bisa menjadi
seorang akuntan jika aku buta. Tak bisa menjadi seorang pelukis sekalipun, aku
hanya bisa terduduk dan menjadi beban.”
“Kau terlalu cepat menyerah—”
“Dan kau! Masih berani berkata
seperti itu—”
“Beethoven kehilangan pendengarannya
dan disaat itu ia baru bisa menjadi pemusik handal.” Jelasnya dan aku hanya
mendengarnya— tidak percaya.
“Itu hanya 1 diantara banyak. Aku
bukan 1 itu.” balasku, “Bicara realistis. Setidaknya ia bisa melihat partitur
musik dan piano dihadapannya.”
Mendengar jawabanku, hening
menghigap ruangan— tak ada jawaban dari Theodore untuk beberapa saat.
“Elizabeth,” mulainya, berdeham,
“Apa kau percaya pada Tuhan?”
Tau kemana arah pembicaraan ini, aku
hanya mengangguk tidak ingin merespon banyak.
“Siapa Tuhan yang kau kenal?” tanyanya.
Aku terdiam. Apa ini semacam
pertanyaan retorika? Berusaha mencari pemilihan kata yang baik, aku menjawab.
“Tuhan yang setiap hari minggu padaNya aku beribadah. Yang kulayani semasaku
dulu. Yang kepadaNya aku meminta agar perkara ini tak pernah Ia timpakan
padaku. ”
“Ya.” Jawabnya dengan nada lemah,
“Bukankah Dia juga Tuhan yang menyertaimu dan memberi perkara yang tidak
melebih kekuatanmu?”
Dan aku merenung.
-inclusion-
Setelah percakapan tersebut, kami
tidak pernah membawa topik tentang diriku lagi. Aku juga berusaha tidak
mengangkat topik tersebut.
Tidak seperti bayanganku, sesi-sesi
ini ternyata cukup membuatku menantikannya. Mungkin karena aku terlalu lama
tidak memiliki lawan bicara yang sepadan denganku sehingga ketika bertemu dan
bercakap— kami bisa mendapat sebuah titik temu.
Ia sebenarnya adalah pria yang
menarik, jika membahas mengenai melukis dan tidak mengusikku. Ia adalah guru
yang baik dan asik. Ia membuatku percaya setidaknya aku bisa melakukan sesuatu—
melukis— dan jujur, ini membawa dampak yang sangat besar dan positif bagiku.
Kadang
ada saat dimana ia hanya membawa lukisan karyanya dan menyuruhku menavigasi
kanvas, kadang ada sesi cara penggunaan cat minyak, kadang ada juga saat dimana
aku diberi sebuah kanvas dan melukis sebuah objek. Apapun. Baik itu yang ada
diingatanku ataupun objek baru yang sebelumnya akan kusentuh.
Tak
terasa 2 bulan berjalan dan tak hanya hubungan kami membaik, mentalku menjadi
lebih baik dan relasiku dengan mama dan papa menjadi sedikit lebih baik.
“Ini adalah
lukisan.. seorang perempuan?” tekaku. Hari ini, sekali lagi kami melakukan
sebuah sesi dan kali ini aku disuruh menebak objek dalam beberapa lukisan yang
ia baru saja selesaikan.
“Betul
sekali.” Jawabnya, mengambil kanvas tersebut dan menaruh lukisan lainnya
dihadapanku.
“Aku tak
menyangka kau adalah tipe yang akan melukis seorang wanita.” Tuturku, tersenyum
sinis, “Maksudku, kau? Apa ada seorang wanita yang menarik hatimu?”
“Kau
cemburu?” tanyanya, sisi menyebalkannya keluar lagi.
“Aku?
Cemburu karenamu?” jawabku, “Tidak akan.”
“Ya ya..” jawab Theodore. Tanpa
diminta, ia bercerita, “Dia adalah satu-satunya wanita yang menyelamatkanku di
saat aku terpuruk.”
Mendengar nadanya yang lemah namun
serius, dalam hati aku tak percaya tetapi memutuskan untuk mendengar ceritanya.
“Sebenarnya, aku pernah sama
sepertimu.” Tuturnya, “Emosional, pasrah dan masa depan kalang kabut.”
“Tapi dia menolongku dan membuatku
percaya aku bisa mengatasinya.” Meski tak melihatnya, aku bisa merasakan— ia
tersenyum mengingat sosok tersebut, “Dia adalah ibuku.”
“…. pfft” merasa berdosa, aku berusaha menahan tawaku. Aku tahu Theo
mungkin melihatku dengan bingung. Tetapi akhirnya, ketawaku pecah juga. “Aku
kira kau serius menyukai seorang wanita. Ternyata hanya ibumu. Hahahaha, kau hampir
membuatku percaya, hebat.”
Tak mendengar respon apapun darinya,
ketawaku berlangsung singkat dan mati. Apakah aku menyinggung perasaannya?
Belum sempat aku berkutit, sebuah
tangan meraih rambutku, menyisir beberapa helai ke belakang daun telingaku. “Senyummu
cantik, Elizabeth!”
Terkejut mendengar perkataannya,
kurasakan semburat merah muncul dipipiku.
Theodore mengacak rambutku, berkata,
“Aku tahu masih ada jiwa kebaikan didalam hatimu,” kurasakan ia tersenyum, “Kau
hanya perlu seseorang untuk mengingatkan itu.”
“Dan kau
rasa kau bisa?” balasku, berusaha agar ia tidak mendapatiku.
Ia berdeham sebelum menjawab, “Hmm,
siapa tahu?—”
“Aku ingin melihatmu mencoba—”
Balasku terpotong, mendengar suara erangan.
“Argh..”
“Theo?” tidak menjawab panggilanku,
suara erangan itu berlanjut terus dan membuatku khawatir. Aku berdiri dari
kursiku, menghampiri dan memanggil namanya,
“Theo! Theodore!”
-inclusion-
“Ini hal yang wajar bagi penderita hyperthymesia seperti tuan Theo.” Jelas
dokter pada kami, “Terkadang ingatan yang tidak bisa di kontrol bisa membuat
pasien stress. Meski tak akan ada efek lainnya. Ia hanya perlu banyak
istirahat.”
“Baik, terima kasih dokter.” Setelah
mama mengucapkan terima kasih pada dokter, sang dokter pergi, meninggalkan kami
bertiga diruangan tersebut. Tak lama, Theo terbangun. Sedikit pucat namun
kelihatan hidup.
“Padahal tante tidak perlu.” Dengan
nada sungkan Theodore berkata, “Terima kasih sebelumnya tan. Maaf merepotkan.”
“Tidak apa. Justru tante yang terima
kasih. Selama ini sudah mau bantu tante dan Eli.” Kata Mama, menepuk
pundakku. “Ya sudah tante tinggal dulu
ya, ada urusan. Eli kalau mau pulang telpon papa ya.”
Aku mengangguk pada mama. Memberiku
sebuah kecupan, Mama pergi dan mengucapkan selamat tinggal.
Mama pergi tidak membuat suasana
menjadi semakin ramai. Tetapi, keheningan datang dan tinggal untuk sementara.
Theodore yang kelelahan membuatku mengambil inisiatif untuk memulai pembicaraan
lebih dulu.
“Kau benar-benar membuatku
terkejut.” Tuturku.
“Khawatir?” tanyanya, masih sempat
bercanda.
“Ya.” Jawabku serius dan sepertinya
ia tidak membayangkan kata itu datang dariku.
Kurasakan atmosfer ruangan berubah
dan membayangkan air mukanya berubah datar.
“Jika,” terhenti sejenak, aku
melanjutkan, “Jika kau merasa tidak enak, katakan. Aku tak bisa berteman dengan
orang yang sama kasihannya denganku.”
“Janji kekanakan macam apa itu?”
kudengar Theodore terkekeh.
“Aku serius—”
“Aku tahu.” Potongnya. “Aku juga
tahu apa yang aku lakukan. Aku baik-baik saja, Liz.”
Mendengarnya pertama kali menyebut
namaku dengan kata itu, aku tersentuh. “Jika kau berbohong akan kucolok kedua
matamu.” Ancamku, membuat berjanji.
Aku tidak heran ketika mendengar
tertawa kecilnya karena mendengar kalimat kekanakanku. Mengikutinya aku juga
terkekeh.
“Wanita benar-benar adalah sekuntum
mawar.” Katanya, “Nampaknya indah tetapi perkataannya sangat tajam.”
Melihatnya bermain sastra, aku
membalasnya tidak mau kalah, “Jika aku mawar kau anyelir.”
Kebingungan, ia bertanya. “Mengapa?”
“Karena saat ini kau sangat amis.”
Balasku.
“Pft”
tertawa mendengar jawabanku, Theo berkata,“Itu bahkan tidak ada hubungannya.”
“Memang. Aku hanya bermain rima.”
Jawabku dengan pede.
Sepanjang hari itu kami hanya
berbincang. Sama seperti hari-hari lainnya. Berbeda tempat tetapi dia tetap
Theodore yang sama.
Setidaknya, itu yang kupikirkan.
-inclusion-
Suatu
saat aku bertanya Tuhan mengapa— lalu Ia memberiku jawaban bagaimana… Saat itu
naifku tak mengerti. Hingga Ia mengantarku sampai tujuan, sepanjang jalan
berada disana dan menyertai . Lalu diakhir jalan aku mengerti dan damai dia
beri….
………
…3 Minggu berlalu.
Tidak lama setelah itu, doaku seolah
dijawab. Tuhan mengutus seorang penolong dan aku tidak bisa lebih bahagia dari
ini.
“Saya buka perbannya ya.” Mengangguk
ringan dengan perasaan berdebar dalam hatiku, aku tak sabar melihat kembali
dunia. Hingga helai terakhirku jantungku berdegup kencang dan pada detik
pertama mataku silau memandang.
Hal pertama yang kulihat disana
adalah mama, ia yang selalu berada disana untukku. Kulihat wajah tua yang sudah
lama tidak kupandang. Ia kelihatan lelah tetapi sangat bahagia untukku. Air
mata mama mengalir dan ia memelukku, memeluknya kembali, sebuah penyesalan
muncul dihatiku dan disana aku berjanji, aku akan lebih baik.
Disana ada papa, Carol dengan senyum
bahagia juga ada disana. Tetapi ada satu wajah yang tak kulihat.
“Theodore mana?” tanyaku hati-hati
tetapi tak sabar melihatnya.
Tatapan mata orang disekitarku tidak
membantu dan Carol juga hanya terdiam— membuat ku memikirkan hal yang
aneh-aneh.
Tetapi dia cepat berkata dan aku
merasa lebih tenang, “Mau pergi melihatnya?”
Tidak menunggu waktu aku tentu
langsung mengangguk setuju. Hari pertama dan aku tak bisa lebih semangat. Mama
dan papa berkata ia tidak akan ikut, jadi hanya aku, Carol dan sedannya menuju
ke tempat Theo.
“Ini yang ingin Theo sampaikan jika
kau sudah..” memberiku sebuah kode, Carol tidak melanjutkan pernyataannya—
takut menyinggung perasaanku.
‘Ia benar-benar teman yang baik.
Mengapa aku pernah berburuk sangka padanya?’
Mengesampingkan hal itu, aku mulai
membaca surat Theo.
“Kepada: orang dengan muka termasam
sedunia
Kudengar dari ibumu akan ada
pendonor yang ingin memberi sepasang mata untukmu? Betapa beruntungnya kau
bukan? Ternyata Tuhan memang tidak pernah membencimu.
Aku sangat yakin. 1000 persen yakin
kau akan mencari diriku yang hebat ini huehehe. Oleh karena itu biarkan aku
meminta maaf sebelumnya.
Elizabeth, pada saat kau membaca
surat ini, mungkin aku sedang dalam perjalanan menuju tempat lain. Mungkin
belum tetapi melihat waktu, sepertinya aku akan berangkat setelah hal ini
terjadi.
Aku hanya ingin berpesan— bukan
menceramahi loh— semoga kau selalu hidup bahagia mulai dari sekarang dan
menjadi berkat. Aku pernah disana, dan aku yakin kau akan menemukan arti yang
baru lagi sama seperti aku telah mendapatkannya.
Yang aku harapkan kau peracya akan
satu hal ini: Bukan Tuhan tidak mau mendengar doamu, Ia hanya ingin melatih
kesabaranmu.
Dan kau telah melaluinya dengan
baik. Satu perkara dan Tuhan tetap disana bukan?
Mungkin seperti itu yang ingin
kusampaikan. Aku akan kehabisan tinta.
Aku harap kita akan bertemu lagi.
Suatu saat.
Instruktur
lukis terhebatmu, Theodore.
Membaca surat tersebut, aku
terbingung dengan banyaknya kalimat ambigu dan tidak sambung. Tetapi ketika
mobil sedan Carol berhenti ditempat tujuan kami, aku melihat dan mengerti.
Terlalu mengerti
……………
Mereka
berkata ia terkena komplikasi. Dari masa mudanya ia terikat narkoba hingga
sekarang efek sampingnya membuat beberapa kelainan salah satunya adalah hyperthymesia dan kanker— stadium akhir.
Aku
berlutut didepan nisannya, air mata tumpah tak tertahankan. Sudah terlambat
untuk aku menyesal.
“Aku
bahkan tak pernah melihatmu dan kau sudah hilang begitu saja.” Aku menangis
sejadi-jadinya didepan nisannya. Carol disebelahku memelukku, ikut berduka atas
kematian kakaknya.
Sebelum
kematiannya ia hanya ingin menolong sesamanya. Ia punya pilihan untuk tenang
dan menjalani sisa hidupnya tanpa drama dan masalah— tetapi ia memilih untuk
menjadi penyelamat orang lain. Seperti ibunya yang dulu menyelamatkannya.
Mengusap
air mataku, aku berdiri dan menatap nisannya. Apakah ia mati tanpa penyesalan?
Apakah ia akan tenang disana?
Lalu
sesuatu menjawab dalam diriku, seolah berbisik dengan nada tenang dan
meyakinkan, ia sudah tenang disana dengan
Bapa.
Memandang
nisan Theo sekali lagi, sebuah perasaan lega menyapuku. Membaca sebuah ayat
terukir disana, aku tersenyum kecil seolah ia memberiku sebuah pelajaran
terakhir.
“Berbahagialah orang yang bertahan dalam
pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan
yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.
Yakobus 1:12”
-inclusion,
END-
Referensi:
keren grace. semoga ada lagi yang berikutnya. hehehe
BalasHapus