Dosa dan Sakramen Rekonsiliasi/Tobat
Nama : Janssen Reksa Rantelangi Tempat,Tanggal Lahir : Rantepao, 19 Desember 1998 Jurusan/Angkatan : Akuntansi/2017 |
Melalui rubrik Katolik edisi kali ini saya mengajak anda, pembaca yang budiman dan rupawan, untuk memahami sebagian kecil hal terkait dosa dan Sakramen Rekonsiliasi atau Tobat dalam pandangan Gereja Katolik.
Dosa ialah suatu perbuatan yang menyebabkan terputusnya hubungan antara manusia dengan Allah, karena manusia mencintai dirinya atau hal-hal lain sedemikian rupa sehingga menjauhkan diri dari cinta kasih Allah.
Seseorang dikatakann berdosa apabila perbuatannya melwan cinta kasih Allah itu dilakukan dengan BEBAS (tidak dalam keadaan dipaksa), SADAR (tidak dalam keadaan terbius), TAHU (mengerti bahwa perbuatan itu jahat).
Dosa menciptakan kecondongan kepada dosa; pengulangan perbuatan-perbuatan jahat yang sama mengakibatkan kebiasaan buruk. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kecenderungan yang salah, menggelapkan hati nurani dan menghambat keputusan konkret mengenai yang baik dan yang buruk. Dosa cenderung terulang lagi dan diperkuat, namun ia tidak dapat menghancurkan seluruh perasaan moral. (KGK 1865)
Dosa adalah satu tindakan pribadi. Tetapi kita juga mempunyai tanggung jawab untuk dosa orang lain kalau kita turut di dalamnya,(KGK 1868)
· kalau kita mengambil bagian dalam dosa itu secara langsung dan dengan suka rela,
· kalau kita memerintahkannya, menasihatkan, memuji, dan membenarkannya,
· kalau kita menutup-nutupinya atau tidak menghalang-halanginya, walaupun kita berkewajiban untuk itu,
· kalau kita melindungi penjahat.
Dengan demikian dosa membuat manusia menjadi teman dalam kejahatan dan membiarkan keserakahan, kekerasan, dan ketidakadilan merajaleIa di antara mereka. Di tengah masyarakat, dosa-dosa itu mengakibatkan situasi dan institusi yang bertentangan dengan kebaikan Allah.
Dalam sejarah, bentuk konkret dengannya Gereja menjalankan kuasa yang diterimanya dari Tuhan, mengalami perubahan-perubahan besar. Selama abad-abad pertama perdamaian warga Kristen, terutama mereka yang melakukan dosa berat sesudah Pembaptisan (seperti pemujaan berhala, pembunuhan, dan zina) dikaitkan pada satu disiplin yang sangat keras: para peniten harus melakukan penitensi untuk dosa-dosanya, sering kali sampai bertahun-tahun di muka umum, sebelum mereka menerima pengampunan. Ke dalam "status peniten" ini (yang hanya dimaksudkan untuk dosa berat tertentu) seorang diterima jarang sekali, malahan di daerah-daerah tertentu hanya sekali seumur hidup. Tergerak oleh tradisi monastis di Timur, para misionaris Irlandia selama abad ketujuh membawa praktik "penitensi perorangan" kedaratan Eropa. Praktik ini tidak menuntut cara berpenitensi yang panjang di muka umum sebelum orang mendapat perdamaian dengan Gereja. Sakramen terjadi atas cara yang rahasia antara peniten dan imam. Praktik baru ini memberi kemungkinan untuk mengulanginya dan dengan demikian mengantar menuju penerimaan Sakramen Pengakuan secara teratur. Ia membuka kemungkinan, memberi pengampunan atas dosa berat dan dosa ringan dalam satu upacara saja. Itulah garis besar bentuk pertobatan yang Gereja gunakan sampai hari ini.
Kendati susunan dan upacara Sakramen ini mengalami berbagai perubahan dalam peredaran sejarah, namun ada kerangka dasar yang sama. Ia mencakup dua unsur yang sama-sama hakiki: di satu pihak kegiatan manusia yang bertobat di bawah kuasa Roh Kudus, yaitu penyesalan, pengakuan, dan penitensi; di lain pihak kegiatan Allah oleh pelayanan Gereja. Di samping itu Gereja, yang memberi pengampunan dosa oleh Uskup dan imam-imamnya atas nama Yesus Kristus dan yang menentukan jenis dancara penitensi, berdoa untuk pendosa dan menjalankan penitensi bersama dengannya. Dengan demikian pendosa disembuhkan dan diterima kembali ke dalam persekutuan Gereja.
Sakramen pengampunan dosa atau rekonsiliasi adalah sakramen penyembuhan rohani dari seseorang yang telah dibaptis yang terjauhkan dari Allah karena telah berbuat dosa. Gereja melalui mereka yang memiliki kuasa para rasul, menjadi saluran rahmat pengampunan Allah kepada umat-Nya yang mengakui dan menyesali dosa-dosanya. Melalui sakramen ini pula mereka sekaligus didamaikan dengan Gereja yang telah mereka lukai karena dosa-dosa mereka (bdk. Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 11; KGK 1422). Dengan menerima sakramen rekonsiliasi, peniten (sebutan bagi yang melakukan pengakuan) dapat memperoleh pengampunan atas dosa-dosa yang diperbuat setelah pembaptisan, karena sakramen baptis tidak membebaskan seseorang dari kecenderungan berbuat dosa.
Santo Ambrosius mengatakan bahwa dosa diampuni melalui Roh Kudus, namun manusia memakai para pelayan Tuhan (imam) untuk mengampuni dosa. Para pelayan tuhan tersebut tidak menggunakan kekuatan mereka sendiri; mereka mengampuni dosa bukan atas nama mereka sendiri, tetapi atas nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Mereka meminta Tuhan yang memberikannya.
Sakramen Rekonsiliasi terdiri dari dua elemen utama, yaitu tindakan Allah berupa pengampunan dosa (absolusi), dan tindakan manusia berupa penyesalan, pengakuan, dan silih (penitensi).
Penyesalan adalah kesedihan jiwa dan kebencian terhadap dosa yang telah dilakukan, bersama dengan niat untuk tidak berbuat dosa lagi (Konsili Trente: DS 1676). Melalui pengakuan, seseorang memandang dengan tepat dosa-dosanya dimana ia bersalah karenanya, menerima tanggung jawab atas dosa-dosa tersebut, dan dengan demikian orang tersebut membuka diri kepada Allah dan persekutuan dengan Gereja demi masa depannya yang baru.pengakuan di hadapan seorang imam merupakan bagian penting dalam sakramen pengakuan dosa sebagaimana disampaikan dalam Konsili Trente (DS 1680): "Dalam Pengakuan para peniten harus menyampaikan semua dosa berat yang mereka sadari setelah pemeriksaan diri secara saksama, termasuk juga dosa-dosa yang paling rahasia dan telah dilakukan melawan dua perintah terakhir dari Sepuluh Perintah Allah (Keluaran 20:17, Ulangan 5:21, Matius 5:28); terkadang dosa-dosa tersebut melukai jiwa lebih berat dan karena itu lebih berbahaya daripada dosa-dosa yang dilakukan secara terbuka."
Setelah seorang peniten melakukan bagiannya dengan menyesali dan mengakukan dosa-dosanya, maka kemudian giliran Allah melalui Putera-Nya (Yesus Kristus) memberikan pendamaian berupa pengampunan dosa (atau absolusi). Pelaksanaan pelayanan pengampunan dosa itu dipercayakan Kristus kepada para pelayan apostolik (2 Korintus 5:18), yaitu para imam, sehingga dalam pelayanan sakramen ini, seorang imam mempergunakan kuasa imamat yang dimilikinya dan ia bertindak atas nama Kristus (In persona Christi). Rumusan absolusi yang diucapkan seorang imam dalam Gereja Latin menggambarkan unsur-unsur penting dalam sakramen ini, yaitu belas kasih Bapa yang adalah sumber segala pengampunan; kalimat intinya: "... Saya melepaskanmu dari dosa-dosamu ..."
Absolusi yang diterima dalam Sakramen Rekonsiliasi menghapuskan dosa, namun tidak memulihkan semua kekacauan yang disebabkan oleh dosa. Setelah pendosa diampuni dari dosanya, ia harus memulihkan kesehatan spiritualnya dengan melakukan sesuatu yang lebih untuk menebus kesalahannya; pendosa yang telah diampuni tersebut harus "melakukan silih", atau biasa disebut penitensi. Penitensi yang diberikan bapa pengakuan (sebutan bagi imam yang melayankan sakramen ini) mempertimbangkan keadaan pribadi peniten dan melayani kepentingan rohaninya; diberikan sedapat mungkin sesuai dengan kadar dosa yang dilakukan peniten. Penitensi tersebut dapat terdiri dari doa, derma, karya amal, pelayanan terhadap sesama, penyangkalan diri yang dilakukan secara sukarela, berbagai bentuk pengorbanan, dan terutama menerima salib yang harus dipikulnya dengan sabar. Penitensi-penitensi tersebut membantu peniten agar dapat semakin menyerupai Kristus (Roma 3:25, 1 Yohanes 2:1-2).
Sumber:
Katekismus_Gereja_Katolik
Komentar
Posting Komentar