Langsung ke konten utama

Rubrik Katolik Bulan Mei

Ensiklik Laudato Si: Landasan Bergerak Untuk Alam

Pengantar
Oleh : dreizehn (nama pena)
Lima tahun yang lalu, tepatnya tanggal 24 Mei 2015, Paus Fransiskus sebagai Uskup Agung Roma, pimpinan Gereja Katolik (selanjutnya disebut Gereja) mengeluarkan sebuah dokumen resmi Gereja yang berisi tentang ajaran sosial Gereja (ensiklik) di bidang lingkungan (ekologi). Ensiklik itu diberi nama Laudato Si. Dalam tradisi Gereja, sebuah ensiklik mengambarkan permenungan Gereja terkait fenomena sosial yang bersifat aktual. Ajaran sosial Gereja merupakan refleksi atas usaha-usaha orang-orang beriman kristiani yang bergumul dalam berbagai masalah-masalah sosial. Ajaran sosial gereja merupakan ajaran teologi moral, di mana Gereja menanggapi kehidupan sosial masyarakat berlandasakan ajaran dan tradisi Gereja serta nilai-nilai moral universal.
Jika kita ingin menuliskan berbagai fenomena kerusakan ekologi yang terjadi hingga saat ini, akan begitu banyak yang harus dituliskan. Oleh karena itu, saya hanya akan memberikan beberapa contoh yang masih “segar” dalam ingatan kita. Kebakaran hutan di Australia yang secara total membakar lebih dari 7,3 miliar hektar, membunuh sekitar 1 milyar hewan, serta mengakibatkan 1.588 rumah hancur, 650 rumah mengalami kerusakan dan 27 orang meninggal. Banjir yang melanda beberapa daerah di Indonesia yang hingga saat ini melanda Provinsi Aceh. Termasuk pandemi Covid-19 yang sedang terjadi hingga tulisan ini kalian baca. Pembahasan terkait covid-19 merupakan akibat dari kerusakan lingkungan dapat kita baca pada berbagai artikel ilmiah. Fenomena-fenomena tersebut merupakan akibat dari rusaknya hubungan manusia dengan Allah, rusaknya hubungan dengan sesama manusia, dan rusaknya hubungan dengan alam.
Tulisan ini merupakan sebuah narasi yang menggambarkan secara umum keberpihakan Gereja terhadap masalah lingkungan yang termuat dalam ensiklik Laudato Si.

Gambaran Umum Laudato Si
“Laudato Si; mi’ Signore”-“Terpujilah Engkau, Tuhanku” merupakan nyanyian indah Santo Fransiskus Asisi yang mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita dan seperti ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka. Rumah kita bersama yang dimaksud pada nyanyian itu merujuk pada alam. Ensiklik Laudato Si merupakan bentuk merupakan ajaran yang didasarkan pada permenungan Santo Fransiskus Asisi dalam, memperjuangkan kehidupan yang selaras antara kasih kepada Allah, kasih kepada sesama dan kasih kepada alam. Secara aktual, ensiklik Laudato Si merupakan bentuk keprihatinan Gereja terhadap masalah ekologi yang terus terjadi hingga saat ini.

Secara garis besar, ensiklik Laudato Si terbagi atas beberapa bagian, yakni :
  1. Bagian pengantar, bagian ini berisikan dasar permenungan Gereja terkait keadaan ekologi saat ini. Memuat keterkaitan Laudato Si dengan ensiklik-ensiklik terdahulu yang telah dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bahwa permenungan Gereja merupakan sebuah permenungan yang berkelanjutan terus-menerus, yang tidak berkesudahan hingga akhir kehidupan. Pada bagian ini Gereja memberikan tempat yang khusus ke Santo Fransiskus Asisi yang menjadi panutan bagi Gereja untuk mencintai alam sebagai saudara dalam penciptaan Allah. Paus Fransiskus juga menegaskan pada bagian akhir dari pengantarnya bahwa usaha-usaha untuk melindungi rumah bersama ini merupakan sebuah usaha bersama.
  2. Bab 1, berisi tentang permasalahan aktual yang terjadi dengan alam hingga saat ini. Percepatan perubahan yang diharapkan oleh manusia dipaksakan bekerja pada alam, sedangkan hal itu kontras dengan kelambanan evolusi alam. Permasalahan polusi, perubahan iklim, krisis air bersih, hilangnya keragaman hayati merupakan akibat dari tindakan manusia yang secara struktural telah merusak alam. Akibat-akibat tersebut berdampak secara langsung terhadap kualitas hidup serta moralitas masyarakat. Kemerosotan lingkungan (alam dan sosial), menimbulkan ketimpangan yang sosial dalam masyarakat, secara khusus segala dampak itu secara langsung dirasakan oleh orang-orang miskin. Pada bagian ini juga ditunjukkan tanggapan-tanggapan yang dilakukan oleh berbagai organisasi yang masih bersifat lemah untuk menyelesaikan permasalah ekologi tersebut. Usaha-usaha itu menjadi sia-sia karena tidak berdaya di depan kepentingan pasar global, yang hanya mementingkan profit.
  3. Bab 2, berisi tentang landasan teologi yang menjadi dasar gerakan Gereja dalam usaha untuk memperbaiki keadaan ekologi saat ini. Kisah-kisah yang ada dalam Alkitab menjadi dasar bagi setiap gerak Gereja. Rusaknya relasi manusia dengan alam tidak terlepas dari pemaknaan Alkitab yang keliru. Misalnya, mandat untuk “menaklukkan” bumi (lihat Kejadian 1:28), seringkali disalahartikan sehingga menimbulkan konflik antara manusia dengan alam. Manusia dan alam merupakan ciptaan Allah (Kebijaksanaan 11:26) yang disatukan dalam sebuah persekutuan yang universal. Setiap orang diajak untuk menyadari bahwa pendekatan ekologis harus meliputi suatu perspektif sosial yang memperhatikan hak-hak setiap orang.
  4. Bab 3, berisi tentang penjelasan bahwa krisis ekologis yang terjadi merupakan akibat dari hilangnya kesadaran manusia akan eksistensi dirinya. Secara khusus, Gereja melihat bahwa penggunaan teknologi telah sampai pada titik menghilangkan kemampuan manusia itu sendiri. Kemampuan untuk membuat keputusan, kebebasan yang paling otentik, dan ruang untuk suatu kreativitas alternatif masing-masing orang telah berkurang akibat dari penggunaan teknologi yang sangat ekstrim. Akibat dari penggunaan teknologi dari satu sudut pandang saja, manusia akhirnya melihat alam sebagai objek, sebagai ruang dan bahan untuk dikerjakan. Sehingga alam selalu diarahkan pada pemenuhan kepentingan, bahkan tidak cuma alam, manusia lain akhirnya juga dipandang sebagai alat untuk memcapai kepentingan individu semata. Oleh karena itu, manusia diajak untuk kembali merenungkan makna kerja. Kerja yang merupakan eksistensi manusia perlu untuk dihayati dan diarahkan sesuai dengan hakikatnya. Kerja yang menghantarkan manusia pada perbaikan relasi dengan sesama dan alam, yang telah rusak selama ini.
  5. Bab 4, berisi penjelasan dan penekanan bahwa semua hal saling terkait satu sama lain. Sehingga penyelesaian sebuah masalah ekologis perlu untuk mempertimbangkan berbagai perspektif lainnya. Perbaikan ekologis harus dimulai dengan memperbaiki hubungan manusia dengan alam dalam kerja untuk pemenuhan ekonomi dan sosial. Perbaikan ekologis juga penting untuk mempertimbangkan kebudayaan masyarakat, sebab alam yang merupakan ruang hidup manusia yang akan memberikan ruang untuk perkembangan kebudayaan masyarakat serta kebudayaan masyarakat juga merupakan usaha pelestarian alam itu sendiri. Kita perlu untuk memulai usaha-usaha perbaikan itu dari tindakan sehari-sehari. Perbaikan yang kita mulai dari sekarang bukan hanya untuk kepentingan saat ini melainkan terutama sebagai rasa keadilan kita bagi generasi mendatang yang akan menghuni alam ini.
  6. Bab 5, berisi penjelasan tentang pedoman bagi usaha dan aksi dalam memperbaiki alam. Dalam usaha itu, diperlu dibangun dialog yang bersifat struktural. Dialog yang berkaitan dengan semua bangsa, lalu dialog di lingkup nasional dengan memperhatikan keadaan masing-masing wilayah hingga sampai pada usaha-usaha yang bersifat lokal yang memperhatikan budaya masyarakt lokal yang berda-beda. Oleh karena itu, Gereja melihat bahwa perlu transparansi dalam setiap kebijakan yang diambil di berbagai tingkatan agar kebijakan-kebijakan itu dapat selaras dan sinkron. Segi ekonomi dan politik menjadi satu sisi yang harus diperhatikan dalam usaha ekologis. Sistem perekonomian yang mengutamakan profit harus digantikan oleh sebuah sistem yang betul-betul mampu memenuhi kebutuhan manusia tanpa harus mengorbankan manusia lain dan alam. Pada bagian akhir, Gereja menyadari bahwa peran agama-agama dalam usaha untuk meningkatkan kesadaran manusia menjadi penting. Agama hadir dalam usaha keselarasan dengan ilmu pengetahuan dalam usaha-usaha ekologis yang dilakukan.
  7. Bab 6, berisi tentang usaha pendidikan dan pertobatan ekologis yang harus dilakukan oleh manusia. Kerusakan ekologis yang terjadi tidak terlepas dari kurangnya kesadaran tentang pentingnya alam bagi kehidupan manusia. Kurangnya kesadaran itu merupakan akibat dari sistem pendidikan yang tidak dapat diakses oleh semua orang. Oleh karena itu, penting untuk melakukan suatu pendidikan bagi setiap orang dalam kaitannya dengan usaha pelestarian alam. Pertobatan ekologis merupakan pertobatan yang harus dimiliki oleh setiap orang, pertobatan ini haruslah menyiratkan sebuah sikap yang bersama-sama menimbulkan semangat perlindungan yang murah hati dan lemah lembut. Manusia harus menyadari bahwa alam merupakan saudara, yang darinya Allah Tritunggal Mahakudus menampakkan ke-Ilahi-an dan menjadi slmbol sakramental. Gereja juga mengajak kita untuk tetap memohon doa dari Maria Bunda Gereja, agar mendoakan kita dalam usaha-usaha untuk menjaga alam.

Akhirnya, ensiklik ini ditutup dengan doa-doa yang dapat menjadi disampaikan kepada Allah sebagai kesatuan ciptaan. Ensiklik ini merupakan merupakan sebuah landasan bagi setiap orang beriman secara khusus umat Katolik dalam menanggapi berbagai permasalahan lingkungan yang terus terjadi hingga saat ini.
Amen

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membangun dan Menguatkan

Membangun dan Menguatkan “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani 10:24-25) Dalam menjalani kehidupan ini, tak dapat dipungkiri bahwa masalah bisa saja datang silih berganti. Masalah-masalah yang datang terkadang mampu kita hadapi seorang diri tetapi ada kalanya masalah itu terlalu berat dan kita membutuhkan topangan dari orang lain. Tuhan Yesus sendiri memang menciptakan manusia sebagai makhluk sosial dan bukan makhluk individualis. Dalam Kejadian 2:18 berkata “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Firman ini memiliki arti bahwa manusia memang diciptakan memiliki keterkaitan  dengan sesamanya. Kita sebagai manusia meman...

Renungan Bulan Desember

Firman Tuhan Adalah Benih Yang Menghidupkan ( Mzm. 1:1-3 ; Luk. 8:11-15) Mazm. 1:1-3    Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. Firman Tuhan adalah makanan rohani orang percaya untuk bertumbuh akan pengenalan kepada Yesus dan kebenaran-Nya. Namun dewasa ini, banyak orang Kristen yang enggan membaca Alkitab dengan berbagai alasan. Padahal, jika kita membaca dalam Mzm. 1:1-3, seharusnya kita senantiasa membaca bahkan merenungkan Firman Tuhan agar kita menjadi orang yang diberkati di dalam Dia. Menjadi orang yang diberkati bukan menjadi tujuan hidup orang yang hidup di dalam Tuhan, melainkan suatu anug...

Review Pendalaman Alkitab

DOA Waktu Pelaksanaan      : Selasa, 12 Oktober 2021 Pemateri                       : Ev. Pieter G. O. Sunkudon Jumlah Peserta             : 47 orang Ayat Alkitab                : Matius 6:5-15      Doa merupakan kebiasaan atau gaya hidup setiap orang percaya sehingga seringkali dikatakan doa sebagai nafas hidup orang percaya. Seringkali kita berdoa tetapi tidak juga didengar atau dibalaskan oleh Tuhan. Hal ini dikarenakan beberapa kesalahan yang kita perbuat ketika berdoa. Dalam Matius 6:5-8, Tuhan Yesus mengajarkan bagaimana seharusnya sikap seseorang dalam berdoa. Dalam firman Tuhan tersebut, dikatakan bahwa seringkali banyak orang yang berdoa seperti orang munafik yang berdoa di tempat umum untuk dilihat atau dikenal...