Langsung ke konten utama

Rubrik Katolik Bulan Juli

SPIRITUALITAS PENDERITAAN

Nama : Monalisa F.L
 Tanggal Lahir : 17 Februari 2000
Jurusan/Angkatan : Akuntansi/2018

Penderitaan adalah konsep relative yang kerap diasosiasikan dengan kesehatan fisik maupun penyakit.  WHO (World Health Organization) dalam konstitusinya memberikan sebuah deskripsi tentang kesehatan yang isinya demikian: Kesehatan adalah keadaan sejahtera fisik, mental, dan kesejahteraan social; tidak hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan. Kemudian muncul pertanyaan, mungkinkah ini terjadi? Jika direfleksikan ke kehidupan sehari-hari, gambaran yang diberikan oleh WHO memberi kesan sebuah situasi ideal yang tidak mungkin terealisasi sepenuhnya dalam hidup. Seseorang bisa saja sejahtera secara fisik dan mental, tetapi tidak sepenuhnya sejahtera secara social; dan begitu pun sebaliknya.

Kemudian, muncul kata spiritualitas sebelum kata penderitaan. Spiritualitas dalam lingkup Kristiani dimengerti sebagai “hidup dari roh”.  Jadi spiritualitas merujuk pada pengalaman manusia akan kehadiran yang Ilahi di dalam kehidupan. Kemudian muncul pertanyaan ketika spiritualitas dikaitkan dengan penderitaan, yaitu apakah sebuah penderitaan itu memiliki makna sehingga ada semangat yang bisa untuk dihidupi? Kitab Suci sebagai pedoman dasar memberikan pengalaman-pengalaman tentang penderitaan yang direfleksikan dari sudut pandang manusia tentang Allah. Hal ini dinampakkan dalam pergulatan para tokoh dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam menghadapi misteri penderitaan, bahkan Yesuspun, Putera Allah yang hidup juga mengalami hal yang sama di atas kayu salib.

Spiritualitas dan penderitaan dalam ‘kacamata’ Iman

            Spiritualitas dapat dipahami maknanya dengan berangkat dari para Bapa Gereja hingga abad VI. Bagi mereka kehidupan rohani berlindung di dalam bidang kehidupan interior. Pemahaman ini diteruskan oleh para pujangga kehidupan rohani pada abad keemasan Spanyol, seperti St. Theresia dari Avilla, St. Ignatius dari Loyola, dan St. Yohanes dari Salib. Mereka lebih menitikberatkan lika-liku afektif yang dialami manusia dalam kehidupan interior, terlebih doa. Hingga pada masa sekarang ini mulai banyak diperkenalkan suatu kehidupan di dalam Roh, sebuah formasi kehidupan rohani dalam bentuk praktek-praktek kesalehan, devosi, latihan rohani, doa, dsb. Apa yang diajarkan tersebut berangkat dari praktek hidup sehari-hari dan kembali pada praktek yang konkrit, atau dari praktek kehidupan Jemaat beriman kepada pemahaman yang benar.

            Dengan demikian, kata kunci untuk memahami kata spiritualitas adalah pengalaman religius, yang dapat dipahami sebagai pengalaman setiap orang dalam memupuk kehidupan rohani misalnya dengan berdoa.  Pengalaman religious memiliki objektivitas dan subjektivitas yang saling bersitegang secara dialektik. Pewahyuan objektif dan pengalaman tentang subjek tetap merupakan sebuah realitas yang terbuka. Yang ilahi yang kita Imani sudah jells sebagaimana yang diwahyukan oleh Yesus Kristus. Namun untuk memahami yang objektif ini, tidak bisas ditemukan sebuah metode unik, tunggal yang sanggup untuk merangkul semua perbedaan dan totalitas dari pengalaman iman masing-masing subjek. Seperti halnya semua orang dibesarkan dan bersosialisasi dalam konteks budaya yang berbeda-beda strukturnya. Maka perjumpaan dengan Allah itu akan menjadi perjumpaan yang autentik bila ada unsur transformasi diri, yang sering disebut dengan istilah pertobatan. Kehidupan subjek akan menunjukkan karakter ini bila memang ada perjumpaan antara manusia dan Yang Ilahi secara autentik.

            Spiritualitas menawarkan kesatuan dalam hidup, yang merupakan sebuah terjemahan yang bergulat tentang persoalan dan cara berpikir, bertindak, berdoa, dan merayakan budaya kehidupan sehari-hari. Spiritualitas bukanlah ide, tetapi keselarasan hidup dalam perjumpaan dengan Allah, sesame, diri sendiri dan alam semesta. Santo Paulus merangkumkan ini kepada Jemaat di Roma sebagai sebuah liturgy kehidupan demikian : Karena itu saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasehatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan hidupmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati (Rm 12:1)

Bagaimana Kitab Suci Bercerita mengenai Penderitaan?

            Persoalan penderitaan masih belum terselesaikan. Ketegangan antara hasrat kuat untuk sembuh dan retorika penebusan itu masih ada. Orang yang mengalami penderitaan tentu berharap untuk sembuh. Bagaimana didamaikan dinamika ini dengan misteri Yesus yang menerima penderitaan sebagai bagian dari sejarahnya?bagi Yesus pun, penyakit dan penderitaan masih merupakan bagian dari kematian. Yesus tidak melihat salib sebagai sebuah tujuan akhir sejarah-Nya, melainkan sebagai sebuah jalan. Ketegangan antara jalan dan tujuan itu bisa digambarkan sebagai sebuah cakrawala akan langit dan bumi yang baru sebagai pengharapan akan kehidupan kekal yang membahagiakan, serta doktrin kristiani primitive tentang salib sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan.

            Pemahaman baru disodorkan oleh Yesus kepada umatnya. Yesus tidak menjelaskan penyebab derita dan tidak menghubungkan derita dengan dosa. Yesus justru menempatkan derita dalam karya keselamatan Allah dan mengambil penderitaan sebagai bagian hidup-Nya. Yesus membawa pembaharuan relasi Allah dan bangsa Israel beserta dengan orang-orang yang menderita di sekitarnya. Dosa menjadi sebuah penderitaan ketika cinta diri meningkat sampai menjadi penghinaan terhadap Allah (S. Agustinus, de Civ. 1428). Inilah yang menjadi beban dan penderitaan para pengikut Kristus.

            Bagaimana hal ini menjadi konkrit? Paulus mencoba menjelaskan dengan dirinya sendiri sebagai model. Ketika mewartakan Yesus dalam berbagai perjalanan misinya, Paulus menghadapi bahaya kematian di sepanjang jalan yang dia tempuh (1Kor 4:10-13; 2Kor 4:8-11, 11:23-29). Ada berbagai litani penderitaan dan tekanan yang dihadapinya seperti terabaikan, kelaparan, haus, kurang tidur, disiksa, dianiaya, telanjang, direndahkan. Namun di dalam pengalaman-pengalaman tersebut, Paulus merenungkan bahwa Kami yang hidup ini terus menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami (2Kor 4:11). Dengan demikian makin nyatalah bahwa menderita karena Kristus adalah makanan sehari-harinya, karena Bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal 2:20). Demikianlah pengalaman Paulus.

Pengalaman penderitaan juga dapat dilihat dari kedua orang yang disalibkan bersama dengan Yesus. Ditinjau dari sisi pengalaman kehidupan rohani, orang yang disalibkan di sebelah kiri Yesus adalah salib yang buram. Meskipun menderita begitu hebat, salib ini tidak mencari relasi dengan Yesus yang tersalib di sampingnya. Baginya, derita salib ini tidak ada maknanya sama sekali. Hanya dengan turun dari salib, maka ia akan dibebaskan dari neraka ini. Sayangnya harapan itu tidak akan pernah terjadi. Kita bisa bertanya pada diri sendiri, berapa banyak salib yang buram, salib tidak tertebus, salib yang kita tolak ada dalam perjalanan hidup kita? Berapa banyak penderitaan dan situasi yang membuat kita memberontak kepada Allah? Apakah kita menjadi korban dari nasib yang buta dan tidak mengenal kehadiran Yesus yang ada dekta dengan kita?

Yang disalibkan di sebelah kanan Yesus adalah salib yang bercahaya. Orang yang terpaku itu, dalam sisa waktu yang dia miliki, mencoba sadar diri dan mencari jalan untuk bertemu Yesus yang tersalib. Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan sebuah lilin untuk menerangi kegelapan itu. Di depan salin ini, kita harus berhenti lebih lama, untuk melihat dan mempelajari derita-derita kita dalam terang salib Yesus. Berapa lilin yang sudah kita nyalakan untuk menerangi kegelapan penderitaan kita?

Di antara dua salib tersebut, ada salib Yesus Kristus di tengah-tengahnya. Ini mau mengatakan bahwa Di mana ada Salib, ada penderitaan, di sana ada Yesus. Di dalam misteri penderitaan Yesus, kita bisa melihat inkorporasi penderitaan manusia dalam misteri penderitaan Anak Manusia.

Sebagai penutup, St. Fransiskus dari Sales pernah berkisah. Di Savoia, ketika para ibu-ibu dan remaja putri menimba air di sumur, mereka meletakkan potongan kayu kecil di permukaan air. Ketika ditanya mengapa, mereka menjawab: supaya air cepat tenang dan tidak banyak tetes-tetes air yang berjatuhan dan terbuang. Salib adalah potongan kayu itu. Semoga kita mengimani Dia sebagai penjamin, agar kita tetap tenang dalam setiap pencobaan hidup. Pun ketika derita menghampiri, jangan berputus asa, tetapi jadilah salib yang bercahaya yang mencari dan kemudian menemukan makna penderitaannya di dalam Yesus Kristus. Jika hatimu galau, letakkan salib, maka engkau akan menemukan damai dan kekuatan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membangun dan Menguatkan

Membangun dan Menguatkan “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani 10:24-25) Dalam menjalani kehidupan ini, tak dapat dipungkiri bahwa masalah bisa saja datang silih berganti. Masalah-masalah yang datang terkadang mampu kita hadapi seorang diri tetapi ada kalanya masalah itu terlalu berat dan kita membutuhkan topangan dari orang lain. Tuhan Yesus sendiri memang menciptakan manusia sebagai makhluk sosial dan bukan makhluk individualis. Dalam Kejadian 2:18 berkata “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Firman ini memiliki arti bahwa manusia memang diciptakan memiliki keterkaitan  dengan sesamanya. Kita sebagai manusia meman...

Renungan Bulan Desember

Firman Tuhan Adalah Benih Yang Menghidupkan ( Mzm. 1:1-3 ; Luk. 8:11-15) Mazm. 1:1-3    Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. Firman Tuhan adalah makanan rohani orang percaya untuk bertumbuh akan pengenalan kepada Yesus dan kebenaran-Nya. Namun dewasa ini, banyak orang Kristen yang enggan membaca Alkitab dengan berbagai alasan. Padahal, jika kita membaca dalam Mzm. 1:1-3, seharusnya kita senantiasa membaca bahkan merenungkan Firman Tuhan agar kita menjadi orang yang diberkati di dalam Dia. Menjadi orang yang diberkati bukan menjadi tujuan hidup orang yang hidup di dalam Tuhan, melainkan suatu anug...

Review Pendalaman Alkitab

DOA Waktu Pelaksanaan      : Selasa, 12 Oktober 2021 Pemateri                       : Ev. Pieter G. O. Sunkudon Jumlah Peserta             : 47 orang Ayat Alkitab                : Matius 6:5-15      Doa merupakan kebiasaan atau gaya hidup setiap orang percaya sehingga seringkali dikatakan doa sebagai nafas hidup orang percaya. Seringkali kita berdoa tetapi tidak juga didengar atau dibalaskan oleh Tuhan. Hal ini dikarenakan beberapa kesalahan yang kita perbuat ketika berdoa. Dalam Matius 6:5-8, Tuhan Yesus mengajarkan bagaimana seharusnya sikap seseorang dalam berdoa. Dalam firman Tuhan tersebut, dikatakan bahwa seringkali banyak orang yang berdoa seperti orang munafik yang berdoa di tempat umum untuk dilihat atau dikenal...