SPIRITUALITAS PENDERITAAN
Nama : Monalisa F.L Tanggal Lahir : 17 Februari 2000 Jurusan/Angkatan : Akuntansi/2018 |
Kemudian, muncul kata spiritualitas
sebelum kata penderitaan. Spiritualitas dalam lingkup Kristiani dimengerti
sebagai “hidup dari roh”. Jadi
spiritualitas merujuk pada pengalaman manusia akan kehadiran yang Ilahi di
dalam kehidupan. Kemudian muncul pertanyaan ketika spiritualitas dikaitkan
dengan penderitaan, yaitu apakah sebuah penderitaan itu memiliki makna sehingga
ada semangat yang bisa untuk dihidupi? Kitab Suci sebagai pedoman dasar
memberikan pengalaman-pengalaman tentang penderitaan yang direfleksikan dari
sudut pandang manusia tentang Allah. Hal ini dinampakkan dalam pergulatan para
tokoh dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam menghadapi misteri
penderitaan, bahkan Yesuspun, Putera Allah yang hidup juga mengalami hal yang
sama di atas kayu salib.
Spiritualitas dan penderitaan dalam
‘kacamata’ Iman
Spiritualitas
dapat dipahami maknanya dengan berangkat dari para Bapa Gereja hingga abad VI.
Bagi mereka kehidupan rohani berlindung di dalam bidang kehidupan interior.
Pemahaman ini diteruskan oleh para pujangga kehidupan rohani pada abad keemasan
Spanyol, seperti St. Theresia dari Avilla, St. Ignatius dari Loyola, dan St.
Yohanes dari Salib. Mereka lebih menitikberatkan lika-liku afektif yang dialami
manusia dalam kehidupan interior, terlebih doa. Hingga pada masa sekarang ini mulai
banyak diperkenalkan suatu kehidupan di dalam Roh, sebuah formasi kehidupan
rohani dalam bentuk praktek-praktek kesalehan, devosi, latihan rohani, doa,
dsb. Apa yang diajarkan tersebut berangkat dari praktek hidup sehari-hari dan
kembali pada praktek yang konkrit, atau dari praktek kehidupan Jemaat beriman
kepada pemahaman yang benar.
Dengan
demikian, kata kunci untuk memahami kata spiritualitas adalah pengalaman religius, yang dapat dipahami
sebagai pengalaman setiap orang dalam memupuk kehidupan rohani misalnya dengan
berdoa. Pengalaman religious memiliki objektivitas
dan subjektivitas yang saling bersitegang secara dialektik. Pewahyuan objektif
dan pengalaman tentang subjek tetap merupakan sebuah realitas yang terbuka.
Yang ilahi yang kita Imani sudah jells sebagaimana yang diwahyukan oleh Yesus
Kristus. Namun untuk memahami yang objektif ini, tidak bisas ditemukan sebuah
metode unik, tunggal yang sanggup untuk merangkul semua perbedaan dan totalitas
dari pengalaman iman masing-masing subjek. Seperti halnya semua orang
dibesarkan dan bersosialisasi dalam konteks budaya yang berbeda-beda
strukturnya. Maka perjumpaan dengan Allah itu akan menjadi perjumpaan yang
autentik bila ada unsur transformasi diri, yang sering disebut dengan istilah
pertobatan. Kehidupan subjek akan menunjukkan karakter ini bila memang ada
perjumpaan antara manusia dan Yang Ilahi secara autentik.
Spiritualitas
menawarkan kesatuan dalam hidup, yang merupakan sebuah terjemahan yang bergulat
tentang persoalan dan cara berpikir, bertindak, berdoa, dan merayakan budaya
kehidupan sehari-hari. Spiritualitas bukanlah ide, tetapi keselarasan hidup
dalam perjumpaan dengan Allah, sesame, diri sendiri dan alam semesta. Santo
Paulus merangkumkan ini kepada Jemaat di Roma sebagai sebuah liturgy kehidupan
demikian : Karena itu saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasehatkan
kamu, supaya kamu mempersembahkan hidupmu sebagai persembahan yang hidup, yang
kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati (Rm 12:1)
Bagaimana Kitab Suci Bercerita
mengenai Penderitaan?
Persoalan
penderitaan masih belum terselesaikan. Ketegangan antara hasrat kuat untuk
sembuh dan retorika penebusan itu masih ada. Orang yang mengalami penderitaan
tentu berharap untuk sembuh. Bagaimana didamaikan dinamika ini dengan misteri
Yesus yang menerima penderitaan sebagai bagian dari sejarahnya?bagi Yesus pun,
penyakit dan penderitaan masih merupakan bagian dari kematian. Yesus tidak
melihat salib sebagai sebuah tujuan akhir sejarah-Nya, melainkan sebagai sebuah
jalan. Ketegangan antara jalan dan tujuan itu bisa digambarkan sebagai sebuah
cakrawala akan langit dan bumi yang baru sebagai pengharapan akan kehidupan
kekal yang membahagiakan, serta doktrin kristiani primitive tentang salib
sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan.
Pemahaman
baru disodorkan oleh Yesus kepada umatnya. Yesus tidak menjelaskan penyebab
derita dan tidak menghubungkan derita dengan dosa. Yesus justru menempatkan
derita dalam karya keselamatan Allah dan mengambil penderitaan sebagai bagian
hidup-Nya. Yesus membawa pembaharuan relasi Allah dan bangsa Israel beserta
dengan orang-orang yang menderita di sekitarnya. Dosa menjadi sebuah
penderitaan ketika cinta diri meningkat sampai menjadi penghinaan terhadap
Allah (S. Agustinus, de Civ. 1428).
Inilah yang menjadi beban dan penderitaan para pengikut Kristus.
Bagaimana
hal ini menjadi konkrit? Paulus mencoba menjelaskan dengan dirinya sendiri
sebagai model. Ketika mewartakan Yesus dalam berbagai perjalanan misinya,
Paulus menghadapi bahaya kematian di sepanjang jalan yang dia tempuh (1Kor
4:10-13; 2Kor 4:8-11, 11:23-29). Ada berbagai litani penderitaan dan tekanan
yang dihadapinya seperti terabaikan, kelaparan, haus, kurang tidur, disiksa,
dianiaya, telanjang, direndahkan. Namun di dalam pengalaman-pengalaman
tersebut, Paulus merenungkan bahwa Kami
yang hidup ini terus menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga
hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami (2Kor 4:11). Dengan demikian makin nyatalah bahwa
menderita karena Kristus adalah makanan sehari-harinya, karena Bukan aku
sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal 2:20).
Demikianlah pengalaman Paulus.
Pengalaman penderitaan juga dapat
dilihat dari kedua orang yang disalibkan bersama dengan Yesus. Ditinjau dari
sisi pengalaman kehidupan rohani, orang yang disalibkan di sebelah kiri Yesus
adalah salib yang buram. Meskipun menderita begitu hebat, salib ini tidak
mencari relasi dengan Yesus yang tersalib di sampingnya. Baginya, derita salib
ini tidak ada maknanya sama sekali. Hanya dengan turun dari salib, maka ia akan
dibebaskan dari neraka ini. Sayangnya harapan itu tidak akan pernah terjadi.
Kita bisa bertanya pada diri sendiri, berapa banyak salib yang buram, salib
tidak tertebus, salib yang kita tolak ada dalam perjalanan hidup kita? Berapa
banyak penderitaan dan situasi yang membuat kita memberontak kepada Allah?
Apakah kita menjadi korban dari nasib yang buta dan tidak mengenal kehadiran
Yesus yang ada dekta dengan kita?
Yang disalibkan di sebelah kanan
Yesus adalah salib yang bercahaya. Orang yang terpaku itu, dalam sisa waktu
yang dia miliki, mencoba sadar diri dan mencari jalan untuk bertemu Yesus yang
tersalib. Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan sebuah lilin untuk
menerangi kegelapan itu. Di depan salin ini, kita harus berhenti lebih lama,
untuk melihat dan mempelajari derita-derita kita dalam terang salib Yesus.
Berapa lilin yang sudah kita nyalakan untuk menerangi kegelapan penderitaan
kita?
Di antara dua salib tersebut, ada
salib Yesus Kristus di tengah-tengahnya. Ini mau mengatakan bahwa Di mana ada
Salib, ada penderitaan, di sana ada Yesus. Di dalam misteri penderitaan Yesus,
kita bisa melihat inkorporasi penderitaan manusia dalam misteri penderitaan
Anak Manusia.
Sebagai penutup, St. Fransiskus dari
Sales pernah berkisah. Di Savoia, ketika para ibu-ibu dan remaja putri menimba
air di sumur, mereka meletakkan potongan kayu kecil di permukaan air. Ketika
ditanya mengapa, mereka menjawab: supaya air cepat tenang dan tidak banyak
tetes-tetes air yang berjatuhan dan terbuang. Salib adalah potongan kayu itu.
Semoga kita mengimani Dia sebagai penjamin, agar kita tetap tenang dalam setiap
pencobaan hidup. Pun ketika derita menghampiri, jangan berputus asa, tetapi
jadilah salib yang bercahaya yang mencari dan kemudian menemukan makna
penderitaannya di dalam Yesus Kristus. Jika hatimu galau, letakkan salib, maka
engkau akan menemukan damai dan kekuatan.
Komentar
Posting Komentar