Nama : Kristina Pina Tempat, tanggal lahir : Ratteao', 19 September 2001 Jurusan/angkatan : Akuntansi/2019 |
Mungkin kita pernah bertanya dalam hati: apakah topik yang dapat dibicarakan jika pertama kali kita ingin memperkenalkan iman kita kepada orang lain. Ya, tidak ada hal yang lebih utama daripada ini: Allah mengasihi kita manusia sehingga Ia mengutus Yesus Putera-Nya ke dunia untuk menghapus dosa-dosa kita, agar kita memperoleh hidup yang kekal (Yoh 3:16). Mungkin hal ini sudah sering kita dengar, tetapi baiklah kita meresapkannya kembali, sebab semakin kita menghayati pesan ini, semakin kita diubahkan oleh Tuhan menjadi orang-orang yang selalu bersyukur, dan bertumbuh di dalam iman dan kasih kepada-Nya. Jika kita hidup sesuai dengan pesan yang akan kita wartakan, maka pewartaan kita akan menjadi lebih berdaya guna. Paus Yohanes Paulus II dengan jelas menyampaikan pesan kasih Allah ini dalam surat ensikliknya yang berjudul “Penyelamat Manusia” (Redemptor Hominis/RH) (Redemptor Hominiad adalah Surat Ensiklik pertama Paus Yohanes Paulus II setelah beliau diangkat menjadi Paus pada tahun 1978.)dan “Belas Kasihan Tuhan” (Dives in Misericordia /DM). Tulisan berikut ini adalah ulasan yang mengambil sumber utama dari kedua surat ensiklik tersebut.
Yesus,
Allah yang menjadi manusia
Allah yang Maha Besar bersemayam dalam terang
yang tak terhampiri (1Tim 6:16). Kita dapat melihat kebesaran Allah itu lewat
alam semesta dan segala ciptaanNya, namun semua itu tidak dapat menggambarkan
dengan jelas tentang DiriNya. ((Dives in
Misericordia (DM 2). )) “Tak ada seorangpun yang pernah melihat Allah”,
kata Rasul Yohanes, “dan hanya Kristus yang ada di pangkuan Allah yang
menyatakan Dia” (Yoh 1:18). Di dalam Kristus, Allah yang tidak kelihatan
menjadi kelihatan. Melalui perkataan dan perbuatan Kristus, dan terutama
melalui kurban salib dan kebangkitan-Nya, kita melihat bukti kasih Allah itu.
“Tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya
untuk sahabat-sahabatnya…” (Yoh 15:13). Kristus menggenapi perkataan-Nya ini
dengan wafat-Nya di kayu salib. Salib Kristus menjadi tanda misteri kasih Allah
yang tak terbatas. Di sana kita melihat kasih yang lebih besar dari segala dosa
dan kelemahan; kasih yang lebih kuat daripada maut, kasih Allah yang selalu
siap mengampuni selalu siap merangkul anak-anak-Nya yang bertobat. Ya, kasih
Allah ini menjelma menjadi manusia ((Ibid.));
sehingga dalam sejarah manusia, pernyataan kasih Tuhan itu mengambil bentuk dan
nama, yaitu, Yesus Kristus. ((Redemptor
Hominis (RH 9)).
Siapa
yang melihat Yesus, melihat Bapa
Filipus, salah seorang dari kedua belas rasul
pernah meminta pada Yesus untuk menunjukkan Allah Bapa kepada mereka. Rupanya
tiga tahun hidup bersama Yesus, tidak membuatnya mengenali bahwa Yesus adalah
gambaran Allah Bapa sendiri. Yesus menjawabnya, “Telah sekian lama Aku
bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah
melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh 14:9). Gambaran Allah Bapa yang
dinyatakan Yesus adalah Bapa yang penuh belas kasihan, yang mau menyelamatkan
kita manusia. Maka misteri Keselamatan
adalah cerminan kasih Ilahi dari Allah. ((RH 9, Paus Yohanes Paulus II
menyebutkan hal ini sebagai the Divine
dimension of the Mystery of Redemption.))
Maka mari kita melihat ke dalam diri kita
sendiri. Mungkin, kita juga mempunyai pertanyaan seperti Rasul Filipus,
walaupun tidak persis sama. Kita mempertanyakan sejauh mana Allah mengasihi
kita; kita meminta bukti kasih Allah
dengan memohon mukjizat atau pengabulan doa. Walaupun memohon pertolongan Tuhan
tidaklah salah, namun ada baiknya selalu kita resapkan di dalam hati bahwa
dalam keadaan apapun, Allah itu peduli, dan menaruh belas kasihan kepada kita
yang berharap kepada-Nya. Sebab perbuatan kasih yang terbesar sudah
dilakukan-Nya, yaitu memberikan hidup-Nya sendiri bagi kita, agar kita
memperoleh anugerah kehidupan yang kekal.
Siapa
yang melihat Yesus, melihat gambaran dirinya sendiri
Manusia tidak dapat hidup tanpa kasih. ((RH 10)) Jika manusia tidak pernah
mengalami kasih, dan tidak membuat kasih sebagai bagian dari hidupnya sendiri,
ia tidak akan pernah mengalami kebahagiaan di dalam hidupnya. Itulah sebabnya,
salib Kristus menunjukkan pada kita bagaimana seharusnya kita hidup.
Sebagaimana Kristus hidup di dunia untuk mengasihi kita dan berkurban untuk
kita, maka kita-pun hidup untuk membagikan kasih kepada orang lain dan
memberikan diri kita kepada orang lain. ((Ibid.,
Paus Yohanes Paulus II menyebutkan bahwa pengurbanan Kristus menunjukkan bahwa
hakekat dan tujuan manusia diciptakan adalah untuk membagikan kasih. Ini
disebut sebagai the human dimension of
the Mystery of Redemption.)) Hanya dengan hidup melaksanakan kasih yang mau
‘berkurban’ seperti yang kita lihat dalam diri Kristus, kita akan menemukan
arti hidup ini.
Dengan merenungkan pengorbanan Kristus di
salib, dan membawa hidup kita -beserta semua pergumulan, kelemahan dan dosa-dosa
kita- kehadirat-Nya, kita disadarkan akan kedalaman misteri kasih Allah itu.
Kita akan menyembah Tuhan dengan kekaguman di dalam hati: betapa sungguh
berharganya kita ini di mata Tuhan, sehingga Ia memberikan AnakNya sendiri
untuk wafat bagi kita (Yoh 3:16). Kristus menjadi pernyataan belas kasihan
Allah yang sempurna, yang menyempurnakan belas kasih-Nya yang telah dinyatakan
sejak penciptaan dunia. Belas kasih Allah kepada kita manusia yang berdosa
inilah yang menjadi pesan utama pewartaan kita. Betapa dunia sekitar kita perlu
untuk mendengar kabar gembira ini, sebab belas kasihan Allah inilah yang
sanggup memulihkan dan memperbaharui hidup kita, sehingga kita benar-benar
dapat menjadi ciptaan baru yang menjalani hidup yang baru di dalam Tuhan, yang
memampukan kita untuk mengasihi dan menemukan kebahagiaan sejati.
Belas
kasih Allah di dalam Perjanjian Lama
Di Perjanjian Lama, kita telah melihat
pengalaman akan belas kasihan Allah yang tak terputuskan, baik yang ditujukan
kepada perorangan maupun kepada bangsa Israel. Bangsa Israel yang dipilih Allah
sering tidak setia, mereka berkali-kali melanggar perjanjian dengan Allah.
Namun jika mereka bertobat, Allah menerima mereka kembali. Belas kasihan di
sini menunjuk pada kasih yang lebih besar daripada dosa dan ketidak-setiaan
bangsa Israel.
Di Perjanjian Lama kita melihat bagaimana
penderitaan karena dosa membawa orang-orang Israel untuk memohon belas kasihan
Tuhan. Belas kasihan Tuhan seolah-olah dipertentangkan dengan keadilan Tuhan
yang tidak berkompromi dengan dosa. Padahal walaupun berbeda dengan keadilan,
belas kasihan Tuhan tidak bertentangan dengan keadilan. Belas kasihan Allah
lebih besar dari keadilan. Untuk memahami hal ini kita harus melihat kepada
awal mula penciptaan, di mana Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk
membentuk keluarga besar seluruh manusia yang berdasarkan kasih, yang tidak
menginginkan segala yang jahat terhadap sesama. ((DM 4.)) Jadi keadilan yang dinyatakan Tuhan, adalah demi
kasih-Nya kepada manusia.
Belas
kasih Allah di dalam Perjanjian Baru
Belas kasihan Allah digambarkan dengan sangat
indah di dalam perumpamaan Anak yang hilang, pada Injil Lukas (Luk 15:11-32). ((Lihat DM 5)) Dalam kisah ini,
diceriterakan bahwa setelah menerima bagian kekayaan dari ayahnya, si anak
bungsu menghambur-hamburkan harta itu, sampai akhirnya ia kehabisan segala
miliknya, dan menjadi pekerja di kandang babi. Begitu kelaparannya si anak itu,
sehingga ia sampai sangat ingin mengambil makanan babi itu, tetapi tak
seorangpun memberikannya kepadanya. Dalam keterpurukannya ini, si anak bungsu
itu terhenyak dan berpikir untuk kembali ke rumah bapanya. Melalui segala dosa
dan kesalahannya, si bungsu merasakan kehilangan martabatnya sebagai anak bapa.
Ia ingin kembali ke rumah bapanya dan bekerja sebagai orang upahan saja. Ia
siap menanggung malu, karena menyadari bahwa ia tidak layak disebut ‘anak’
lagi. Si bungsu kemudian pulang ke rumah bapa, yang ternyata telah menunggunya
sejak lama untuk menerimanya kembali. Alkitab menulis, “Ketika ia masih jauh,
ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya
itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia”. Ia bertobat, dan
bapanya menyambutnya dengan gembira (Luk 15:20).
Betapa besar belas kasihan bapa itu, yang
mengalahkan batas-batas keadilan. Karena jika menurut keadilan, anak bungsu itu
layak untuk menjadi orang upahan. Sedikit demi sedikit, ia akan dapat
mengumpulkan uang, walaupun mungkin tak akan pernah sama dengan apa yang dulu
telah diterimanya dari bapanya. Ini adalah ukuran keadilan, karena dia bukan
hanya telah menghambur-hamburkan uang bapanya, tetapi juga telah melukai hati
bapanya oleh karena perbuatannya. Namun lihatlah, betapa besar belas kasihan
sang bapa. Ia setia sebagai seorang bapa; ia setia untuk selalu mengasihi
anaknya. Kesetiaan ini ditunjukkan tidak hanya dengan kesediaannya mengampuni
anaknya, tetapi juga karena ia mengampuni dengan suka cita. Sebab, anaknya yang
telah ‘mati’, hidup kembali; hilang namun didapat kembali (Luk 15:32). Bapanya
bersuka cita, sebab si bungsu dapat memperoleh martabatnya kembali sebagai
‘anak’-nya. ((Lihat DM 6)) Inilah
gambaran Bapa kita di Surga, yang dengan belas kasihNya selalu menanti kita
kembali dari segala pelanggaran dan dosa kita, agar Ia dapat mengembalikan
martabat kita sebagai anak-anak-Nya.
Belas
kasih Allah dialami melalui pertobatan
Perumpamaan Anak yang Hilang (lih. Luk
15:11-32) menggambarkan kenyataan yang sederhana dan mendalam tentang
pertobatan. Pertobatan adalah pernyataan tentang rahmat kasih yang bekerja dan
kehadiran belas kasihan Allah dalam kehidupan seseorang. ((Ibid.)) Belas kasih Allah di sini tidak dimaksudkan untuk
merendahkan si penerima tetapi untuk memberikan martabat yang sepantasnya
kepadanya. Dalam perumpamaan Anak yang Hilang tersebut, kenyataan belas kasih
bapanya inilah yang disadari oleh si anak bungsu itu sehingga ia dapat melihat
dirinya sendiri dan segala perbuatannya dalam terang kebenaran. Belas kasih
bapanya inilah yang kemudian mengembalikan martabatnya sebagai ‘anak’ dan
memperbolehkannya untuk kembali mengambil bagian dalam kehidupan bapanya.
Dengan kadar yang berbeda, mungkin kita semua
pernah mengalami sebagai ‘anak yang hilang’ di dalam hidup kita. Pada saat kita
terpuruk oleh berbagai masalah, misalnya sakit, masalah pekerjaan atau
keuangan, masalah keluarga, kita menjadi sadar bahwa kita telah sekian lama
meninggalkan Tuhan, terlalu disibukkan oleh urusan kita sendiri, atau kurang
bergantung pada Tuhan. Kitapun mengalami pertobatan seperti di anak bungsu.
Sepantasnya kita mengingat bahwa belas kasih Allah-lah yang menggerakkan kita
untuk berbalik kembali kepada-Nya, namun kitapun harus menjawab dorongan
tersebut dengan kehendak kita sendiri. Semakin kita menyadari akan belas kasih
Tuhan, semakin kita harus selalu mempunyai keinginan untuk selalu
bertobat, yaitu ‘pulang’ kembali ke
rumah Bapa. Allah Bapa selalu menantikan kita; Ia siap mengampuni dan menerima
kita kembali. Namun kita harus membuat keputusan: “Aku mau pulang. Ampunilah
aku, ya Tuhan, sebab aku telah berdosa terhadap Engkau… ” Dan sungguh, belas
kasih Allah akan menyambut kita dan seluruh isi Surga bersuka cita atas
pertobatan kita.
Belas
kasih Allah mencapai puncaknya dalam Misteri Paska Kristus
Jadi belas kasih Allah itu lebih besar dari
pada dosa manusia. Belas kasih Allah mengalahkan segala yang jahat untuk
mendatangkan kebaikan bagi kita manusia. Belas kasih Allah ini mencapai
puncaknya di dalam Yesus Kristus, yang
telah menyerahkan Diri-Nya untuk menyelamatkan kita melalui Misteri Paska-Nya
-yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga. Melalui Misteri
Paska Kristus ini, kita menerima pengampunan dan belas kasih Allah yang
mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya, dan di dalam Kristus, kita mengambil
bagian dalam kehidupan Ilahi-Nya.
Misteri Paska ini diawali dengan sengsara
Kristus yang menghantar-Nya ke bukit Golgota, tempat Ia disalibkan. Salib
Kristus menjadi saksi akan begitu dahsyatnya pengaruh kejahatan terhadap Putera
Allah, walaupun Ia tidak berdosa. Di atas kayu salib, Yesus menanggung akibat
dosa-dosa kita, karena kasih-Nya kepada kita manusia. Karenanya, salib Kristus
menjadi bukti keadilan dan belas kasih Tuhan yang mengalahkan akar dari segala
kejahatan di dalam sejarah kehidupan manusia, yaitu dosa dan maut. Salib
menjadi sentuhan kasih ilahi pada luka kehidupan manusia yang terdalam. ((Lihat
DM 8)) Pandanglah Salib itu, dan temukanlah bukti kasih Allah yang melampaui
segalanya!
Namun, kasih Allah tidak berhenti pada Salib.
Sebab salib Kristus diikuti oleh
kebangkitan-Nya. Di dalam kebangkitan-Nya, Kristus menyatakan belas kasih
Tuhan, justru karena Ia menerima Salib sebagai jalan untuk mencapai kebangkitan. ((Ibid.)) Karena itu, saat kita
merenungkan salib Kristus, iman dan pengharapan kita tertuju pada Kristus yang
bangkit. Kristus yang bangkit dari mati adalah bukti yang nyata bahwa kasih
Allah mengalahkan maut. Kepada belas kasih Bapa inilah kita menggantungkan
harapan iman kita, bahwa jika kita setia menanggung salib kehidupan kita
bersama Kristus, kitapun akan dibangkitkan bersama-sama dengan Dia (Rom 8:17).
Karena itu, hidup kita hanya berarti jika kita mempersatukannya dengan
kehidupan Kristus, sebab oleh-Nya kita menerima belas kasih Tuhan yang tiada
batasnya. Kita memang dapat senantiasa mempersatukan hidup kita dengan misteri
kehidupan Yesus, yaitu pada saat kita berdoa, bekerja dan kapan saja, tetapi
persatuan kita dengan Kristus yang paling nyata adalah di dalam Ekaristi. Sebab
di dalam Ekaristi, oleh kuasa Roh Kudus, Misteri Paska Kristus ini dihadirkan
kembali oleh Gereja dan kita memperoleh buah-buahnya. Kristus yang telah
mengalahkan maut, menjadikan misteri kehidupan-Nya tetap ‘hidup’ sampai
sekarang. Ia tetap bekerja melalui Gereja-Nya sampai akhir zaman untuk
mendatangkan keselamatan bagi kita yang percaya kepada-Nya.
Misteri
Kristus sebagai dasar misi Gereja
Karena Gereja adalah Tubuh Kristus, maka karya
Gereja adalah karya Kristus. Apa yang menjadi titik perhatian Kristus, juga
menjadi perhatian Gereja. Karena Kristus menaruh perhatian pada setiap orang
maka Gereja-pun harus bersikap demikian. Kristus menjadi manusia, supaya Ia
dapat mempersatukan diri-Nya dengan setiap orang. ((RH 13)) Dengan demikian, manusia dapat melihat cerminan
kehidupannya di dalam diri Yesus. Sebab dengan menjadi manusia, Yesus menjalani
tahap-tahap kehidupan mulai dari bayi sampai dewasa, seperti kita manusia,
hanya saja Ia tidak berdosa. Ia sengaja memilih tempat terendah saat menjalani
kehidupanNya itu: dilahirkan di kandang hewan, hidup miskin sebagai tukang
kayu, mengajar tanpa mengenal lelah, mengabarkan belas kasih Allah, yang
digenapinya sendiri dengan sengsara, wafat dan kebangkitanNya. Dengan menjadi
manusia inilah, Yesus Sang Kehidupan merangkul setiap dari kita untuk mengambil
bagian dalam kehidupan-Nya, terutama dalam misteri keselamatanNya, agar kita
memperoleh kepenuhan hidup sebagai manusia.
Misteri Paska Kristus dihadirkan oleh kuasa
Roh Kudus di dalam Gereja. Sebelum Kristus naik ke surga, Kristus mempercayakan
karya penyelamatan kepada Gereja (lih. Mat 16:18-19; 28:19-20; Yoh 20:21-23).
Para rasul, yang mewakili Gereja diberi perintah oleh Kristus untuk membaptis,
untuk mengampuni dosa orang yang bertobat, dan mengajar segenap ajaran Kristus
kepada dunia agar sebanyak mungkin orang dapat diselamatkan (lih. 1Tim 2:4).
Kita yang dibaptis, artinya adalah, kita telah digabungkan ke dalam kematian
Kristus, agar kita dapat dibangkitkan bersama dengan Dia dan memperoleh hidup
yang kekal yaitu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus (lih. Rom 6:3-11).
Misteri Paska Kristus dihadirkan oleh Gereja,
secara khusus melalui sakramen-sakramennya, maka sakramen-sakramen ini
merupakan tanda dan sarana yang dipilih oleh Tuhan untuk menyertai dan
menguduskan umat-Nya. Jika dalam Perjanjian Lama penyertaan Tuhan dinyatakan
dengan bagaimana Tuhan menguduskan umat-Nya melalui bermacam kurban – seperti:
kurban bakaran, kurban sajian, kurban keselamatan, kurban penghapus dosa, dst
(lih. Im 1-7) – betapa lebih sempurnanya Allah menguduskan umat pilihan-Nya
yang baru, yaitu Gereja, dalam Perjanjian Baru. Allah menguduskan Gereja-Nya
dengan kurban yang sempurna, yaitu Kristus, Putera-Nya sendiri. Jika dahulu
dalam Perjanjian Lama, darah anak domba jantan dan lembu jantan dan percikan
abunya dapat menguduskan bangsa Israel secara lahiriah, betapa lebih
sempurna-nya darah Kristus sebagai kurban yang tak bercacat, akan menyucikan
hati nurani kita (lih. Ibr 9:12-14). Oleh kuasa Roh Kudus yang mengatasi ruang
dan waktu, kurban Kristus yang satu dan sama ini dihadirkan kembali secara
sakramental; agar kita dapat memperoleh buah-buahnya yaitu: persatuan kita
dengan Kristus dikuatkan, kehidupan rahmat yang kita terima pada saat dibaptis
ditingkatkan, kita dipisahkan dari dosa dan dikuatkan untuk menolak dosa, untuk
berbuat kasih, untuk meninggalkan kebiasaan buruk dan dosa-dosa ringan, dan
kita dipersatukan dengan sesama anggota Tubuh Kristus, serta kita didorong
untuk memperhatikan kaum miskin. Singkatnya, oleh kurban Kristus, Sang Anak
Domba Allah, kita dikuduskan oleh Allah; sebab pengudusan kita adalah
kehendak-Nya bagi kita (lih.1Tes 4:3).
Kekudusan
kasih kepada Tuhan dan sesama: menjadi hukum utama yang diwartakan
Kekudusan, yaitu kasih kepada Tuhan dan kepada
sesama, menjadi hukum yang terutama untuk diwartakan. Karena Allah adalah Kasih
(1 Yoh 4:8, 16) maka sudah menjadi sifat Allah bahwa Ia mengasihi kita manusia.
Kasihnya tidak berhenti hingga manusia dapat mengalaminya; melainkan lebih dari
itu, yaitu hingga manusia dapat diubah untuk menjadi semakin mirip dengan
Diri-Nya yang adalah Kasih itu sendiri. Panggilan terhadap kesempurnaan kasih,
atau yang disebut sebagai kekudusan ini, adalah panggilan Allah yang ditujukan
kepada semua orang, sebagaimana disebutkan dalam Konsili Vatikan II. ((lih. Lumen Gentium bab V)) Oleh karena
itu, jika kita ingin turut menyebarkan Kabar Gembira, kita juga perlu
menyampaikan panggilan ini: bahwa Allah begitu mengasihi kita, namun Allah
tidak berhenti sampai di situ; Ia menghendaki kita untuk bertumbuh di dalam
kasih dan kekudusan, sehingga kita dapat semakin menyerupai Dia.
Karena berharganya manusia di mata Kristus,
maka Gereja sebagai Tubuh Kristus membawa misi untuk memperhatikan martabat
semua manusia. Konsili Vatikan II menggarisbawahi pentingnya Gereja membuat
dunia menjadi semakin manusiawi. ((Lihat
Gaudium et Spes, Dokumen Vatikan II tentang Peran Gereja di dalam Dunia
Modern, 40.)) Hal ini dicapai dengan mempraktekkan belas kasihan dan
pengampunan. Kasih dan pengampunan ini harus nyata diberikan, pertama-tama
kepada orang-orang yang terdekat dengan kita; antara suami dan istri, orang tua
dan anak, antara sahabat, dan hal ini harus diajarkan di dalam pendidikan dan
pelayanan Gereja. Dari sini belas kasih Tuhan kemudian diteruskan ke dalam
lingkungan masyarakat. Dengan mengampuni, maka kita menjadi saksi hidup akan
belas kasih yang lebih kuat daripada dosa. ((Lihat
DM 14.)) Belas kasihan yang kita terima dari Tuhan hendaknya menjadi sumber
pertobatan kita yang terus menerus, agar kita selalu hidup dalam persekutuan
dengan Tuhan. ((Lihat DM 13.)) Mari
kita memohon belas kasihan Tuhan, dan agar setelah menerima belas kasihan-Nya,
kitapun dapat meneruskan belas kasih itu kepada semua orang, terutama mereka
yang membutuhkan uluran tangan kita. Dengan demikian, kita sebagai
anggota-anggota Gereja memperoleh kehidupan sejati, yaitu pada saat kita
mengakui dan mewartakan belas kasih, dan pada saat kita membawa semua orang
kepada Sang Sumber Belas Kasih, yaitu Kristus Penyelamat kita. ((Ibid.))
Belas kasihan Tuhan adalah Kabar Gembira utama yang harus kita wartakan. Belas kasih Tuhan yang sempurna kita lihat dalam diri Kristus. Melalui salib dan kebangkitan Kristus (Misteri Paska), kita melihat belas kasihan Allah yang mengalahkan dosa dan maut. Kita menerima kembali belas kasih ini setiap kali kita mengambil bagian di dalam perayaan Ekaristi. Setelah menerima belas kasihan dari Tuhan, kita selayaknya juga berbelas kasih pada orang lain, dan untuk seterusnya kita hidup dalam pertobatan yang terus menerus. Dengan demikian kita menjadi saksi hidup akan belas kasih Tuhan.
“Bapa
Surgawi, terima kasih atas belas kasih-Mu yang kami terima melalui Yesus
Putera-Mu. Bantulah kami agar mampu menjadi pembawa belas kasih-Mu kepada
sesama kami. Amin.”
Sumber: https://www.katolisitas.org/belas-kasihan-tuhan-adalah-kabar-gembira-utama/
Komentar
Posting Komentar