Trinitas: Satu Tuhan dalam Tiga Pribadi
Selamat
pagi dunia. Saatnya minum kopi. Kopinya kopi apa ya? Bagaimana kalau kopi
torabika 3 in 1 saja? Supaya melaksanakan kegiatan dengan segar, mandi dulu
deh. Mandinya keramas pakai shampoo dulu kan. Eh, adanya Suave, shampoo 3 in 1.
Apa
hubungan cerita di atas dengan judul artikel ini? Tunggu dulu, apakah anda
benar-benar percaya bahwa cerita ini mungkin terjadi dalam kehidupan
sehari-hari? Kalau anda lupakan merk kopi dan shampoo, anda akan mengerti apa hubungannya
cerita di atas dengan tulisan dibawah ini.
Saya
bingung sekali, bagaimana orang dapat mempercayai dan memakai barang-barang 3
in 1 tanpa percaya adanya ALLAH Tritunggal. Banyak orang yang akan membela diri
dan berkata bahwa keduanya adalah hal yang berbeda. Atau malahan akan ada yang
menyalahkan saya karena menyamakan ALLAH dengan kopi atau shampoo.
Mohon
bacalah tulisan ini sampai selesai. TUHAN dapat dianalogikan. Ketika kita
berkata: "Tangan TUHAN...", "Tuhan melihat...", "TUHAN
Maha...", bukankah kita sebenarnya sedang menganalogikan TUHAN? Pemahaman
manusia terbatas dengan pengalaman yang ia pernah terima atau pengetahuan yang
dia peroleh, jadi apa salahnya saya mengungkapkan doktrin ALLAH Tritunggal
dengan bahasa sederhana?
Kesalahan
persepsi dan tentang Trinitas (Allah Tritunggal Maha Kudus).
Banyak orang yang mempertanyakan ajaran tentang Trinitas, bahkan
banyak orang yang bukan Kristen mengatakan bahwa orang Kristen percaya akan
tiga Tuhan. Tentu saja hal ini tidak benar, sebab iman Kristiani mengajarkan
Allah yang Esa. Namun bagaimana mungkin Allah yang Esa ini mempunyai tiga
Pribadi? Untuk memahami hal ini memang diperlukan keterbukaan hati untuk
memandang Allah dari sudut pandang yang mengatasi pola berpikir manusia. Jika
kita berkeras untuk membatasi kerangka berpikir kita, bahwa Allah harus dapat
dijelaskan dengan logika manusia semata-mata, maka kita membatasi pandangan
kita sendiri, sehingga kehilangan kesempatan untuk melihat gambaran yang lebih
luas tentang Allah. Jika kita berpikir demikian, kita bagaikan, maaf, memakai
‘kacamata kuda’: Kita mencukupkan diri kita dengan pandangan Allah yang logis
menurut pikiran kita dan tanpa kita sadari kita menolak tawaran Allah agar kita
lebih dapat mengenal DiriNya yang sesungguhnya.
Dari
mana kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Allah Tritunggal?
Walaupun kita mengetahui bahwa konsep Trinitas ini tidak dapat
dijelaskan hanya dengan akal, bukan berarti bahwa Allah Tritunggal ini adalah
konsep yang sama sekali tidak masuk akal. Berikut ini adalah sedikit uraian
bagaimana kita dapat mencoba memahami Trinitas, walaupun pada akhirnya harus
kita akui bahwa adanya tiga Pribadi dalam Allah yang Satu ini merupakan misteri
yang tidak cukup kita jelaskan dengan akal, sebab jika dapat dijelaskan dengan
tuntas, maka hal itu tidak lagi menjadi misteri. St. Agustinus bahkan
mengatakan, “Kalau engkau memahami-Nya, Ia bukan lagi Allah”. ((St.
Agustinus, sermon. 52, 6, 16, seperti dikutip dalam KGK 230.)) Sebab Allah jauh
melebihi manusia dalam segala hal, dan meskipun Ia telah mewahyukan Diri, Ia
tetap tinggal sebagai rahasia/ misteri yang tak terucapkan. Di sinilah peran
iman, karena dengan iman inilah kita menerima misteri Allah yang diwahyukan
dalam Kitab Suci, sehingga kita dapat menjadikannya sebagai dasar pengharapan,
dan bukti dari apa yang tidak kita lihat (lih. Ibr. 11:1-2). Agar dapat sedikit
menangkap maknanya, kita perlu mempunyai keterbukaan hati. Hanya dengan hati
terbuka, kita dapat menerima rahmat Tuhan, untuk menerima rahasia Allah yang
terbesar ini; dan hati kita akan dipenuhi oleh ucapan syukur tanpa henti.
Mungkin kita pernah
mendengar orang yang menjelaskan konsep Allah Tritunggal dengan
membandingkan-Nya dengan matahari: yang terdiri dari matahari itu sendiri,
sinar, dan panas. Atau dengan sebuah segitiga, di mana Allah Bapa, Allah
Putera, dan Allah Roh Kudus menempati masing-masing sudut, namun tetap dalam
satu segitiga. Bahkan ada yang mencoba menjelaskan, bahwa Trinitas adalah
seperti kopi, susu, dan gula, yang akhirnya menjadi susu kopi yang manis. Penjelasan
yang menggunakan analogi ini memang ada benarnya, namun sebenarnya tidak cukup,
sehingga sangat sulit diterima oleh orang-orang non-Kristen. Apalagi dengan
perkataan, ‘pokoknya percaya saja’, ini juga tidak dapat memuaskan orang yang
bertanya. Jadi jika ada orang yang bertanya, apa dasarnya kita percaya pada
Allah Tritunggal, sebaiknya kita katakan, “karena Allah melalui Yesus
menyatakan Diri-Nya sendiri demikian”, dan hal ini kita ketahui dari Kitab
Suci.
Doktrin Trinitas atau
Allah Tritunggal Maha Kudus adalah pengajaran bahwa Tuhan
adalah SATU, namun terdiri dari TIGA pribadi: 1) Allah Bapa
(Pribadi pertama), 2) Allah Putera (Pribadi kedua), dan Allah Roh Kudus
(Pribadi ketiga). Karena ini adalah iman utama kita, maka kita harus dapat menjelaskannya
lebih daripada hanya sekedar menggunakan analogi matahari, segitiga, maupun
kopi susu.
Dasar
dari Kitab Suci dan pengajaran Gereja
Yesus menunjukkan persatuan yang tak terpisahkan dengan Allah
Bapa, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30); “Barangsiapa telah melihat Aku,
ia telah melihat Bapa…” (Yoh 14:9). Di dalam doa-Nya yang terakhir untuk
murid-murid-Nya sebelum sengsara-Nya, Dia berdoa kepada Bapa, agar semua
murid-Nya menjadi satu, sama seperti Bapa di dalam Dia dan Dia di dalam Bapa (lih.
Yoh 17: 21). Dengan demikian Yesus menyatakan Diri-Nya sama dengan
Allah: Ia adalah Allah. Hal ini mengingatkan kita akan pernyataan Allah
Bapa sendiri, tentang ke-Allahan Yesus sebab Allah Bapa menyebut Yesus sebagai
Anak-Nya yang terkasih, yaitu pada waktu pembaptisan Yesus (lih. Luk 3: 22) dan
pada waktu Yesus dimuliakan di atas gunung Tabor (lih. Mat 17:5).
Yesus juga menyatakan
keberadaan Diri-Nya yang telah ada bersama-sama dengan Allah Bapa sebelum
penciptaan dunia (lih. Yoh 17:5). Kristus adalah sang Sabda/ Firman, yang ada
bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah, dan oleh-Nya
segala sesuatu dijadikan (Yoh 1:1-3). Tidak mungkin Yesus menjadikan
segala sesuatu, jika Ia bukan Allah sendiri.
Selain menyatakan
kesatuan-Nya dengan Allah Bapa, Yesus juga menyatakan kesatuan-Nya dengan Roh
Kudus, yaitu Roh yang dijanjikan-Nya kepada para murid-Nya dan disebutNya
sebagai Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, (lih. Yoh 15:26). Roh ini juga
adalah Roh Yesus sendiri, sebab Ia adalah Kebenaran (lih. Yoh 14:6). Kesatuan
ini ditegaskan kembali oleh Yesus dalam pesan terakhir-Nya sebelum naik ke
surga, “…Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus…”(Mat 28:18-20).
Selanjutnya, kita melihat
pengajaran dari para Rasul yang menyatakan kembali pengajaran Yesus ini,
contohnya, Rasul Yohanes yang mengajarkan bahwa Bapa, Firman (yang
adalah Yesus Kristus), dan Roh Kudus adalah satu (lih 1 Yoh 5:7);
demikian juga pengajaran Petrus (lih. 1 Pet:1-2; 2 Pet 1:2); dan Paulus
(lih. 1Kor 1:2-10; 1Kor 8:6; Ef 1:3-14). Rasul Paulus
Dasar
dari Pengajaran Bapa Gereja
Para Rasul mengajarkan apa yang mereka terima dari Yesus, bahwa
Ia adalah Sang Putera Allah, yang hidup dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan
Allah Roh Kudus. Iman akan Allah Trinitas ini sangat nyata pada Tradisi umat
Kristen pada abad-abad awal.
1. St.
Paus Clement dari Roma (menjadi Paus tahun 88-99):
“Bukankah kita mempunyai satu Tuhan, dan satu Kristus, dan satu Roh Kudus yang melimpahkan
rahmat-Nya kepada kita?” ((St. Clement of Rome, Letter to the
Corinthians, chap. 46, seperti dikutip oleh John Willis SJ, The
Teachings of the Church Fathers, (San Francisco, Ignatius Press, 2002,
reprint 1966), p. 145))
2. St. Ignatius dari Antiokhia (50-117) membandingkan jemaat dengan batu yang disusun untuk membangun bait Allah Bapa; yang diangkat ke atas oleh ‘katrol’ Yesus Kristus yaitu Salib-Nya dan oleh ‘tali’ Roh Kudus. ((St. Ignatius of Antiokh, Letter to the Ephesians, Chap 9, Ibid., p. 146))
“Ignatius, juga disebut Theoforus, kepada Gereja di Efesus di Asia… yang ditentukan sejak kekekalan untuk kemuliaan yang tak berakhir dan tak berubah, yang disatukan dan dipilih melalui penderitaan sejati oleh Allah Bapa di dalam Yesus Kristus Tuhan kita.” ((St. Ignatius, Letter to the Ephesians, 110)) “Sebab Tuhan kita, Yesus Kristus, telah dikandung oleh Maria seturut rencana Tuhan: dari keturunan Daud, adalah benar, tetapi juga dari Roh Kudus.” ((ibid., 18:2)). “Kepada Gereja yang terkasih dan diterangi kasih Yesus Kristus, Tuhan kita, dengan kehendak Dia yang telah menghendaki segalanya yang ada.” ((St. Ignatius, Letter to the Romans, 110))
3. St.
Polycarpus (69-155), dalam doanya sebelum ia dibunuh sebagai martir,
“… Aku memuji Engkau (Allah Bapa), …aku memuliakan
Engkau, melalui Imam Agung yang ilahi dan surgawi, Yesus Kristus,
Putera-Mu yang terkasih, melalui Dia dan bersama Dia, dan Roh Kudus,
kemuliaan bagi-Mu sekarang dan sepanjang segala abad. Amin.” ((St. Polycarp,
Ibid., 146))
4. St.Athenagoras (133-190):“Sebab,
… kita mengakui satu Tuhan, dan PuteraNya yang adalah Sabda-Nya, dan
Roh Kudus yang bersatu dalam satu kesatuan, –Allah Bapa, Putera dan Roh
Kudus.” ((St. Athenagoras, A Plea for Christians, Chap. 24,
ibid., 148))
5. Aristides sang filsuf
[90-150 AD] dalam The Apology
“Orang- orang Kristen, adalah mereka yang, di atas segala bangsa di dunia,
telah menemukan kebenaran, sebab mereka mengenali Allah, Sang
Pencipta segala sesuatu, di dalam Putera-Nya yang Tunggal dan
di dalam Roh Kudus. ((Aristides, Apology 16 [A.D. 140]))
6. St.Irenaeus (115-202):“Sebab bersama Dia (Allah Bapa) selalu hadir Sabda dan kebijaksanaan-Nya, yaitu Putera-Nya dan Roh Kudus-Nya, yang dengan-Nya dan di dalam-Nya, …Ia menciptakan segala sesuatu, yang kepadaNya Ia bersabda, “Marilah menciptakan manusia sesuai dengan gambaran Kita.” (( St. Irenaeus, Against Heresy, Bk. 4, Chap.20, Ibid., 148))
“Sebab Gereja, meskipun tersebar di seluruh dunia bahkan sampai ke ujung bumi, telah menerima dari para rasul dan dari murid- murid mereka iman di dalam satu Tuhan, Allah Bapa yang Mahabesar, Pencipta langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya; dan di dalam satu Yesus Kristus, Sang Putera Allah, yang menjadi daging bagi keselamatan kita, dan di dalam Roh Kudus, yang [telah] mewartakan melalui para nabi, ketentuan ilahi dan kedatangan, dan kelahiran dari seorang perempuan, dan penderitaan dan kebangkitan dari mati dan kenaikan tubuh-Nya ke surga dari Kristus Yesus Tuhan kita, dan kedatangan-Nya dari surga di dalam kemuliaan Allah Bapa untuk mendirikan kembali segala sesuatu, dan membangkitkan kembali tubuh semua umat manusia, supaya kepada Yesus Kristus Tuhan dan Allah kita, Penyelamat dan Raja kita, sesuai dengan kehendak Allah Bapa yang tidak kelihatan, setiap lutut bertelut dari semua yang di surga dan di bumi dan di bawah bumi ….” ((St. Irenaeus, Against Heresies, I:10:1 [A.D. 189])).
“Namun demikian, apa yang tidak dapat dikatakan oleh seorangpun yang hidup, bahwa Ia [Kristus] sendiri adalah sungguh Tuhan dan Allah … dapat dilihat oleh mereka yang telah memperoleh bahkan sedikit bagian kebenaran” ((St. Irenaeus, ibid., 3:19:1)).
7. St.
Clement dari Alexandria [150-215 AD] dalam Exhortation to
the Heathen (Chapter 1)
“Sang Sabda, Kristus, adalah penyebab, dari asal mula kita -karena Ia ada di
dalam Allah- dan penyebab dari kesejahteraan kita. Dan sekarang, Sang Sabda
yang sama ini telah menjelma menjadi manusia. Ia sendiri adalah Tuhan dan
manusia, dan sumber dari semua yang baik yang ada pada kita” ((St. Clement,
Exhortation to the Greeks 1:7:1 [A.D. 190])).
“Dihina karena rupa-Nya namun sesungguhnya Ia dikagumi, [Yesus adalah], Sang Penebus, Penyelamat, Pemberi Damai, Sang Sabda, Ia yang jelas adalah Tuhan yang benar, Ia yang setingkat dengan Allah seluruh alam semesta sebab Ia adalah Putera-Nya.” ((ibid., 10:110:1)).
8. St.
Hippolytus [170-236 AD] dalam Refutation of All Heresies (Book
IX)
“Hanya Sabda Allah [yang] adalah dari diri-Nya sendiri dan
karena itu adalah juga Allah, menjadi substansi Allah. ((St. Hippolytus, Refutation
of All Heresies 10:33 [A.D. 228]))“Sebab Kristus adalah Allah
di atas segala sesuatu, yang telah merencanakan penebusan dosa dari umat
manusia …. ((ibid., 10:34)).
9. Tertullian [160-240
AD] dalam Against Praxeas
“Bahwa ada dua allah dan dua Tuhan adalah pernyataan yang tidak akan keluar
dari mulut kami; bukan seolah Bapa dan Putera bukan Tuhan, ataupun Roh Kudus
bukan Tuhan…; tetapi keduanya disebut sebagai Allah dan Tuhan, supaya ketika
Kristus datang, Ia dapat dikenali sebagai Allah dan disebut
Tuhan, sebab Ia adalah Putera dari Dia yang adalah Allah dan Tuhan.”
((Tertullian, Against Praxeas 13:6 [A.D. 216])).
10. Origen [185-254 AD] dalam De Principiis (Book IV)
“Meskipun Ia [Kristus] adalah Allah, Ia menjelma menjadi daging, dan dengan menjadi manusia, Ia tetap adalah Allah.” ((Origen, The Fundamental Doctrines 1:0:4 [A.D. 225])).
11. Novatian [220-270
AD] dalam Treatise Concerning the Trinity
“Jika Kristus hanya manusia saja, mengapa Ia memberikan satu ketentuan kepada
kita untuk mempercayai apa yang dikatakan-Nya, “Inilah hidup yang kekal itu,
yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal
Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” (Yoh 17:3). Bukankah Ia menghendaki agar
diterima sebagai Allah juga? Sebab jika Ia tidak menghendaki agar dipahami
sebagai Allah, Ia sudah akan menambahkan, “Dan manusia Yesus Kristus yang telah
diutus-Nya,” tetapi kenyataannya, Ia tidak menambahkan ini, juga Kristus tidak
menyerahkan nyawa-Nya kepada kita sebagai manusia saja, tetapi satu diri-Nya
dengan Allah, sebagaimana Ia kehendaki agar dipahami oleh persatuan ini sebagai
Tuhan juga, seperti adanya Dia. Karena itu kita harus percaya, seusai dengan
ketentuan tertulis, kepada Tuhan, satu Allah yang benar, dan juga
kepada Ia yang telah diutus-Nya, Yesus Kristus, yang, …tidak akan
menghubungkan Diri-Nya sendiri kepada Bapa, jika Ia tidak menghendaki untuk
dipahami sebagai Allah juga. Sebab [jika tidak] Ia akan memisahkan diri-Nya
dari Dia [Bapa], jika Ia tidak menghendaki untuk dipahami sebagai Allah.”
((Novatian, Treatise Concerning the Trinity 16 [A.D. 235])).
12. St.Cyprian
of Carthage [200-270 AD] dalam Treatise 3
“Seseorang yang menyangkal bahwa Kristus adalah Tuhan tidak dapat menjadi bait
Roh Kudus-Nya …” ((St. Cyprian, Letters 73:12 [A.D. 253])).
13. Lactantius [290-350
AD] dalam The Epitome of the Divine Institutes
“Ia telah menjadi baik Putera Allah di dalam Roh dan Putera manusia di dalam
daging, yaitu baik Allah maupun manusia. ((Lactantius, Divine
Institutes 4:13:5 [A.D. 307]))
“Seseorang mungkin bertanya, bagaimana mungkin, ketika kita berkata bahwa kita menyembah hanya satu Tuhan, namun kita menyatakan bahwa ada dua, Allah Bapa dan Allah Putera, di mana penyebutan ini telah menyebabkan banyak orang jatuh ke dalam kesalahan yang terbesar … [yang berpikir] bahwa kita mengakui adanya Tuhan yang lain, dan bahwa Tuhan yang lain itu adalah yang dapat mati …. [Tetapi] ketika kita bicara tentang Allah Bapa dan Allah Putera, kita tidak bicara tentang Mereka sebagai satu yang lain dari yang lainnya, ataupun kita memisahkan satu dari lainnya, sebab Bapa tidak dapat eksis tanpa Putera dan Putera tidak dapat dipisahkan dari Bapa.” ((Lactantius, (ibid., 4:28–29))
14. St. Athanasius (296-373),
“Sebab Putera ada di dalam Bapa… dan Bapa ada di dalam Putera…. Mereka
itu satu, bukan seperti sesuatu yang dibagi menjadi dua bagian namun dianggap
tetap satu, atau seperti satu kesatuan dengan dua nama yang berbeda… Mereka
adalah dua,(dalam arti) Bapa adalah Bapa dan bukan Putera, demikian halnya dengan
Putera… tetapi kodreat/ hakekat mereka adalah satu (sebab anak
selalu mempunyai hakekat yang sama dengan bapanya), dan apa yang menjadi milik
BapaNya adalah milik Anak-Nya.” ((St. Athanasius, Four Discourses
Against the Arians, n. 3:3, in NPNF, 4:395.))
15. St. Agustinus (354-430), “… Allah Bapa dan Putera dan Roh Kudus adalah kesatuan ilahi yang erat, yang adalah satu dan sama esensinya, di dalam kesamaan yang tidak dapat diceraikan, sehingga mereka bukan tiga Tuhan, melainkan satu Tuhan: meskipun Allah Bapa telah melahirkan (has begotten) Putera, dan Putera lahir dari Allah Bapa, Ia yang adalah Putera, bukanlah Bapa, dan Roh Kudus bukanlah Bapa ataupun Putera, namun Roh Bapa dan Roh Putera; dan Ia sama (co-equal) dengan Bapa dan Putera, membentuk kesatuan Tritunggal. ” ((St. Augustine, On The Trinity, seperti dikutip oleh John Willis SJ, Ibid., 152.))
Dalam bukunya, On the Trinity (Book XV, ch. 3), St. Agustinus menjabarkan ringkasan tentang konsep Trinitas. Secara khusus ia memberi contoh beberapa trilogi untuk menggambarkan Trinitas, yaitu:
1) seorang pribadi yang
mengasihi, pribadi yang dikasihi dan kasih itu sendiri.
2) trilogi pikiran manusia, yang terdiri dari pikiran (mind), pengetahuan (knowledge) yang
olehnya
pikiran mengetahui dirinya sendiri, dan kasih (love) yang olehnya pikiran dapat
mengasihi dirinya dan pengetahuan akan dirinya.
3) ingatan (memory),
pengertian (understanding) dan keinginan (will). Seperti pada saat kita
mengamati sesuatu, maka terdapat tiga hal yang mempunyai satu esensi, yaitu
gambaran benda itu dalam ingatan/ memori kita, bentuk yang ada di pikiran pada
saat kita melihat benda itu dan keinginan kita untuk menghubungkan keduanya.
Khusus untuk point yang
ketiga ini kita dapat melihat contoh lain sebagai berikut: jika kita mengingat
sesuatu, misalnya menyanyikan lagu kesenangan, maka terdapat 3 hal yang
terlibat, yaitu, kita mengingat lagu itu dan liriknya dalam memori/ ingatan
kita, kita mengetahui atau memikirkan dahulu tentang lagu itu dan kita
menginginkan untuk melakukan hal itu (mengingat, memikirkan-nya) karena kita
menyukainya. Nah, ketiga hal ini berbeda satu sama lain, namun saling
tergantung satu dengan yang lainnya, dan ada dalam kesatuan yang tak
terpisahkan. Kita tidak bisa menyanyikan lagu itu, kalau kita tidak
mengingatnya dalam memori; atau kalau kita tidak mengetahui lagu itu sama
sekali, atau kalau kita tidak ingin mengingatnya, atau tidak ingin mengetahui
dan menyanyikannya.
Pengajaran
Gereja: Dogma tentang Tritunggal Maha Kudus
Syahadat ‘Aku Percaya’ menyatakan bahwa rahasia sentral iman
Kristen adalah Misteri Allah Tritunggal. Maka Trinitas adalah dasar iman
Kristen yang utama ((Gereja Katolik , Katekismus Gereja Katolik,
Edisi Indonesia., 234, 261.)) yang disingkapkan dalam diri Yesus. Seperti kita
ketahui di atas, iman kepada Allah Tritunggal telah ada sejak zaman Gereja abad
awal, karena didasari oleh perkataan Yesus sendiri yang disampaikan kembali
oleh para murid-Nya. Jadi, tidak benar jika doktrin ini baru ditemukan dan
ditetapkan pada Konsili Konstantinopel I pada tahun 359! Yang benar ialah:
Konsili Konstantinopel I mencantumkan pengajaran tentang Allah Tritunggal
secara tertulis, sebagai kelanjutan dari Konsili Nicea (325) ((Konsili Nicea
(325): Credo Nicea: “…Kristus itu sehakekat dengan Allah Bapa, Allah dari
Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar …”)), dan untuk
menentang heresies (ajaran sesat) yang berkembang pada abad
ke-3 dan ke-4, seperti Arianisme (oleh Arius 250-336, yang menentang kesetaraan
Yesus dengan Allah Bapa) dan Sabellianisme (oleh Sabellius 215 yang membagi
Allah dalam tiga modus, sehingga seolah ada tiga Pribadi yang terpisah).
Dari sejarah Gereja kita
melihat bahwa konsili-konsili diadakan untuk menegaskan kembali ajaran
Gereja (yang sudah berakar sebelumnya) dan menjaganya terhadap
serangan ajaran-ajaran sesat/ menyimpang. Jadi yang ditetapkan dalam konsili
merupakan peneguhan ataupun penjabaran ajaran yang sudah ada, dan bukannya
menciptakan ajaran baru. Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan semakin
menyadari bahwa Tuhan Yesus sendiri menjaga Gereja-Nya: sebab setiap kali
Gereja ‘diserang’ oleh ajaran yang sesat, Allah mengangkat Santo/Santa yang
dipakai-Nya untuk meneguhkan ajaran yang benar dan Yesus memberkati para
penerus rasul dalam konsili-konsili untuk menegaskan kembali kesetiaan ajaran
Gereja terhadap pengajaran Yesus kepada para Rasul. Lebih lanjut mengenai hal
ini akan dibahas di dalam artikel terpisah, dalam topik Sejarah Gereja.
Berikut ini adalah Dogma
tentang Tritunggal Maha Kudus menurut Katekismus Gereja Katolik, yang telah
berakar dari jaman jemaat awal:
1. Tritunggal
adalah Allah yang satu. ((Lihat KGK 253)) Pribadi ini tidak membagi-bagi
ke-Allahan seolah masing-masing menjadi sepertiga, namun mereka adalah
‘sepenuhnya dan seluruhnya’. Bapa adalah yang sama seperti Putera, Putera yang
sama seperti Bapa; dan Bapa dan Putera adalah yang sama seperti Roh Kudus,
yaitu satu Allah dengan kodrat yang sama. Karena kesatuan ini, maka Bapa
seluruhnya ada di dalam Putera, seluruhnya ada dalam Roh Kudus; Putera
seluruhnya ada di dalam Bapa, dan seluruhnya ada dalam Roh Kudus; Roh Kudus ada
seluruhnya di dalam Bapa, dan seluruhnya di dalam Putera.
2. Ketiga
Pribadi ini berbeda secara real satu sama lain, yaitu di dalam hal hubungan
asalnya: yaitu Allah Bapa yang ‘melahirkan’, Allah Putera yang dilahirkan, Roh
Kudus yang dihembuskan. ((Lihat KGK 254))
3. Ketiga
Pribadi ini berhubungan satu dengan yang lainnya. Perbedaan dalam hal asal
tersebut tidak membagi kesatuan ilahi, namun malah menunjukkan hubungan timbal
balik antar Pribadi Allah tersebut. Bapa dihubungkan dengan Putera, Putera
dengan Bapa, dan Roh Kudus dihubungkan dengan keduanya. Hakekat mereka adalah
satu, yaitu Allah. ((Lihat KGK 255))
Jadi
bagaimana kita menjelaskan Trinitas?
Kita akan mencoba memahaminya dengan bantuan filosofi. Dengan
pendekatan filosofi, maka diharapkan kita akan dapat masuk ke dalam misteri
iman, sejauh apa yang dapat kita jelaskan dengan filosofi. Dengan
demikian, filosofi melayani teologi. Untuk menjelaskan
Trinitas, pertama-tama kita harus mengetahui terlebih dahulu beberapa istilah
kunci, yaitu apa yang disebut sebagai substansi/ hakekat/ kodrat dan apa yang
disebut sebagai pribadi/ hypostatis. Pengertian kedua istilah ini
diajarkan oleh St. Gregorius dari Nasiansa. Kedua, bagaimana menjelaskan
prinsip Trinitas dengan argumentasi kenapa hal ini sudah sepantasnya terjadi
atau “argument of fittingness.” Ketiga, kita dapat menjelaskan konsep
Trinitas dengan argumen definisi kasih. Berikut ini mari kita lihat satu
persatu.
Arti
‘substansi/ hakekat’ dan ‘pribadi’
Mari kita lihat pada diri kita sendiri. ‘Substansi’ (kadang
diterjemahkan sebagai hakekat/ kodrat) dari diri kita adalah ‘manusia’. Kodrat
sebagai manusia ini adalah sama untuk semua orang. Tetapi jika kita menyebut ‘pribadi’
maka kita tidak dapat menyamakan orang yang satu dengan yang lain, karena
setiap pribadi itu adalah unik. Dalam bahasa sehari-hari, pribadi kita
masing-masing diwakili oleh kata ‘aku’ (atau ‘I’ dalam bahasa
Inggris), di mana ‘aku’ yang satu berbeda dengan ‘aku’ yang lain. Sedangkan,
substansi/ hakekat kita diwakili dengan kata ‘manusia’
(atau ‘human’). Analogi yang paling mirip (walaupun tentu tak sepenuhnya
menjelaskan misteri Allah ini) adalah kesatuan antara jiwa dan tubuh dalam diri
kita. Tanpa jiwa, kita bukan manusia, tanpa tubuh, kita juga bukan manusia.
Kesatuan antara jiwa dan tubuh kita membentuk hakekat kita sebagai manusia, dan
dengan sifat-sifat tertentu membentuk kita sebagai pribadi.
Dengan prinsip yang sama,
maka di dalam Trinitas, substansi/hakekat yang ada adalah satu, yaitu Tuhan,
sedangkan di dalam kesatuan tersebut terdapat tiga Pribadi: ada tiga ‘Aku’,
yaitu Bapa. Putera dan Roh Kudus. Tiga pribadi manusia tidak dapat menyamai
makna Trinitas, karena di dalam tiga orang manusia, terdapat tiga “kejadian”/ ‘instances‘
kodrat manusia; sedangkan di dalam tiga Pribadi ilahi, terdapat hanya satu
kodrat Allah, yang identik dengan ketiga Pribadi tersebut. Dengan
demikian, ketiga Pribadi Allah mempunyai kesamaan hakekat Allah yang
sempurna, sehingga ketiganya membentuk kesatuan yang sempurna. Yang membedakan
Pribadi yang satu dengan yang lainnya hanyalah terletak dalam hal hubungan
timbal balik antara ketiganya. ((Lihat KGK 252.))
Argument
of fittingness untuk menjelaskan Trinitas
Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang
mempunyai akal budi. ((Dalam bukunya “Isagoge“, pengenalan akan kategori
menurut Aristoteles, Filsuf Yunani Porphyry, mengemukakan bahwa Aristoteles
membagi substansi atau “substance” berdasarkan “genus” yang mengindikasikan
esensi dari sesuatu dan “a specific differences” yang merupakan kategory yang
lebih detail dari genus tertentu.)) Akal budi yang berada dalam jiwa manusia
inilah yang menjadikan manusia sebagai ciptaan yang paling sempurna, jika dibandingkan
dengan ciptaan yang lain. Akal budi, yang terdiri dari intelek (intellect)
dan keinginan (will) adalah anugerah Tuhan kepada umat manusia, yang
menjadikannya sebagai ‘gambaran’ Allah sendiri.
Nah, intelek dan
keinginan tersebut memampukan manusia melakukan dua perbuatan prinsip yang
menjadi ciri khas manusia, yaitu: mengetahui dan mengasihi.
Kemampuan mengetahui sesuatu tidaklah menunjukkan kesempurnaan manusia, karena
kita menyadari bahwa komputer-pun dapat ‘mengetahui’ lebih banyak daripada kita,
kalau dimasukkan program tertentu, seperti kamus atau ensiklopedia. Namun, yang
membuat manusia istimewa adalah kerjasama antara intelek dan keinginan, jadi
tidak sekedar mengetahui, tetapi dapat juga mengasihi. Jadi hal ‘mengasihi’
inilah yang menjadikannya sebagai mahluk yang tertinggi jika dibandingkan
dengan hewan dan tumbuhan, apalagi dengan benda-benda mati.
Kita mengenal peribahasa
“kalau tak kenal, maka tak sayang“. Peribahasa ini sederhana, namun
berdasarkan suatu argumen filosofi, yaitu “mengetahui lebih dahulu,
kemudian menginginkan atau mengasihi.” Orang tidak akan dapat mengasihi
tanpa mengetahui terlebih dahulu. Bagaimana kita dapat mengasihi atau
menginginkan sesuatu yang tidak kita ketahui? Sebagai contoh, kalau kita
ditanya apakah kita menginginkan komputer baru secara cuma-cuma? Kalau orang
tahu bahwa dengan komputer kita dapat melakukan banyak hal, atau kalaupun kita
tidak memakainya, kita dapat menjualnya, maka kita akan dengan cepat menjawab “Ya,
saya mau.” Namun kalau kita bertanya kepada orang pedalaman yang tidak
pernah mendengar atau tahu tentang barang yang bernama komputer, maka mereka
tidak akan langsung menjawab “ya”. Mereka mungkin akan bertanya dahulu, “komputer
itu, gunanya apa?” Di sini kita melihat bahwa tanpa pengetahuan tentang
barang yang disebut sebagai komputer, orang tidak dapat menginginkan komputer.
Nah, berdasarkan dari
prinsip “seseorang tidak dapat memberi jika tidak lebih dahulu mempunyai”
((Prinsip ini sering disebut sebagai salah satu Prinsip yang tidak perlu dibuktikan
(‘self-evident principles’), karena memang demikian halnya.)) maka Tuhan yang
memberikan kemampuan pada manusia untuk mengetahui dan mengasihi,
pastilah memiliki kemampuan tersebut secara sempurna. Jika kita mengetahui
sesuatu, kita mempunyai konsep tentang sesuatu tersebut di dalam pikiran kita,
yang kemudian dapat kita nyatakan dalam kata-kata. Maka, di dalam Tuhan,
‘pengetahuan’ akan Diri-Nya sendiri dan segala sesuatu terwujud di dalam
perkataan-Nya, yang kita kenal sebagai “Sabda/ Firman”; dan Sabda ini adalah
Yesus, Sang Allah Putera.
Jadi, di dalam Pribadi
Tuhan terdapat kegiatan intelek dan keinginan yang terjadi secara sekaligus dan
ilahi, ((Lihat KGK 259)) yang mengatasi segala waktu, yang sudah terjadi sejak
awal mula dunia. Kegiatan intelek ini adalah Allah Putera, Sang Sabda (“The
Word“). Rasul Yohanes mengatakan pada permulaan Injilnya, “Pada mulanya
adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah”
(Yoh 1:1).
Selanjutnya, kesempurnaan
manusia sebagai mahluk personal dinyatakan, tidak hanya melalui kemampuannya
untuk mengetahui, namun juga mengasihi, yaitu
memberikan dirinya kepada orang lain dalam persekutuannya dengan sesama. Maka
‘mengasihi’ di sini melibatkan pribadi yang lain, yang menerima kasih tersebut.
Kalau hal ini benar untuk manusia pada tingkat natural, maka di tingkat
supernatural ada kebenaran yang sama dalam tingkatan yang paling sempurna. Jadi
Tuhan tidak mungkin Tuhan yang ‘terisolasi’ sendirian, namun “keluarga Tuhan”,
dimana keberadaan-Nya, kasih-Nya, dan kemampuan-Nya untuk bersekutu dapat
terwujud, dan dapat menjadi contoh sempurna bagi kita dalam hal mengasihi.
Dalam hal ini, hubungan kasih timbal balik antara Allah Bapa dengan Putera-Nya
(Sang Sabda) ‘menghembuskan’ Roh Kudus; dan Roh Kudus kita kenal sebagai
Pribadi Allah yang ketiga.
Argumen
dari definisi kasih.
Seperti telah disebutkan di atas, kasih tidak mungkin berdiri
sendiri, namun melibatkan dua belah pihak. Sebagai contoh, kasih suami istri,
melibatkan kedua belah pihak, maka disebut sebagai “saling”
mengasihi. Kalau Tuhan adalah kasih yang paling sempurna, maka tidak mungkin
Tuhan tidak melibatkan pihak lain yang dapat menjadi saluran kasih-Nya dan juga
dapat membalas kasih-Nya dengan derajat yang sama. Jadi Tuhan itu harus satu,
namun bukan Tuhan betul- betul sendirian. Jika tidak demikian, maka Tuhan tidak
mungkin dapat menyalurkan dan menerima kasih yang sejati.
Orang mungkin
berargumentasi bahwa Tuhan bisa saja satu dan sendirian dan Dia dapat
menyalurkan kasih-Nya dan menerima balasan kasih dari manusia. Namun, secara
logis, hal ini tidaklah mungkin, karena Tuhan Sang Kasih Ilahi tidak mungkin
tergantung pada manusia yang kasihnya tidak sempurna, dan kasih manusia tidak
berarti jika dibandingkan dengan kasih Tuhan. Dengan demikian, sangatlah masuk
di akal, jika Tuhan mempunyai “kehidupan batin,” di mana Dia
dapat memberikan kasih sempurna dan juga menerima kembali kasih yang sempurna.
Jadi, dalam kehidupan batin Allah inilah Yesus Kristus berada sebagai Allah
Putera, yang dapat memberikan derajat kasih yang sama dengan Allah Bapa.
Hubungan antara Allah Bapa dan Allah Putera adalah hubungan kasih yang kekal,
sempurna, dan tak terbatas. Kasih ini membuahkan Roh Kudus. ((Roh Kudus adalah
buah dari operasi kasih antara Allah Bapa dan Allah Putera. Ini sebabnya bahwa
setelah Pentakosta terjadi setelah Yesus wafat di kayu salib. Bapa mengasihi
Putera-Nya, dan Putera-Nya menunjukkan kasih-Nya dengan sempurna di kayu salib.
Buah dari pertukaran dan kasih yang mengorbankan diri inilah yang menghasilkan
Roh Kudus. Sehingga dalam ibadat iman yang panjang (Nicene Creed), kita melihat
pernyataan “….Aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan; Ia
berasal dari Bapa dan Putera….“)) Dengan hubungan kasih yang sempurna
tesebut kita mengenal Allah yang pada hakekatnya adalah KASIH. Kesempurnaan
kasih Allah ini ditunjukkan dengan kerelaan Yesus untuk menyerahkan nyawa-Nya
demi kasih-Nya kepada Allah Bapa dan kepada kita. Yesus memberikan Diri-Nya
sendiri demi keselamatan kita, ((John Paul II, Encyclical Letter on The
Redeemer Of Man: Redemptor Hominis (Pauline Books & Media, 1979),
no. 10 – Paus Yohanes Paulus II menekankan bahwa kasih yang sempurna adalah
kasih yang dapat memberikan diri sendiri kepada orang lain. Dengan demikian,
adalah “sesuai atau fitting” bahwa Tuhan,
melalui Putera-Nya menjadi contoh yang snempurna bagaimana menerapkan kasih.
Dengan demikian ini juga membuktikan bahwa Tuhan bukanlah Allah yang
sendirian.)) agar kita dapat mengambil bagian dalam kehidupan-Nya oleh kuasa
Roh-Nya yaitu Roh Kudus.
Trinitas
adalah suatu misteri, dan Tuhan menginginkan kita berpartisipasi di dalam-Nya
agar dapat semakin memahami misteri tersebut
Memang pada akhirnya, Trinitas hanya dapat dipahami dalam
kacamata iman, karena ini adalah suatu misteri ((KGK 237.)), meskipun ada
banyak hal juga yang dapat kita ketahui dalam misteri tersebut. Manusia dengan
pemikiran sendiri memang tidak akan dapat mencapai pemahaman sempurna tentang
misteri Trinitas, walaupun misteri itu sudah diwahyukan Allah kepada manusia.
Namun demikian, kita dapat mulai memahaminya dengan mempelajari dan merenungkan
Sabda Allah dalam Kitab Suci, pengajaran para Bapa Gereja dan Tradisi Suci yang
ditetapkan oleh Magisterium (seperti hasil Konsili), juga dengan bantuan
filosofi dan analogi seperti diuraikan di atas. Selanjutnya, pemahaman kita
akan kehidupan Trinitas akan bertambah jika kita mengambil bagian di
dalam kasih Trinitas itu, seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.
Di sinilah pentingnya
peran Sakramen dan doa: Sakramen Pembaptisan merupakan rahmat awal,
‘gerbang’ yang memungkinkan kita mengambil bagian dalam kehidupan ilahi (lihat
artikel: Sudahkah
kita diselamatkan?). Kemudian, Sakramen Ekaristi mengambil peranan utama, karena
di dalamnya kita menyambut Kristus sendiri, dan dengan demikian kita mengambil
bagian di dalam kehidupan Allah Tritunggal melalui Yesus (baca artikel: Ekaristi:
Sumber dan Puncak Spiritualitas Kristiani). Di sinilah juga
pentingnya peran penghayatan akan Sakramen Perkawinan, sebab di dalam
Perkawinan, kita melihat bagaimana hubungan kasih antara suami dan istri yang
direncanakan oleh Allah untuk menjadi gambaran akan kasih Allah Tritunggal
(silakan baca: Indah
dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan Katolik).
Demikian pula, kasih Allah Tritunggal pula yang mengilhami Sakramen Tahbisan
Suci, karena melalui Tahbisan Suci, para imam dipanggil untuk meniru teladan
hidup Yesus, terutama dalam hal mengasihi, yaitu dengan memberikan diri kepada
Allah dan sesama secara total. Memang, pada dasarnya sakramen-sakramen adalah
‘sarana’ yang diberikan oleh Allah kepada kita, agar kita dapat mengambil
bagian di dalam kehidupan ilahi-Nya (mohon dibaca: Sakramen:
apa pentingnya dalam kehidupan kita?, terutama pada sub
judul: Akibat utama penerimaan Sakramen). Akhirnya, kitapun perlu memeriksa
kehidupan doa kita, apakah kita setia dalam menyediakan waktu untuk Tuhan dan
menghayati kesatuan denganNya di dalam kehidupan rohani kita? Bagaimana sikap
kita terhadap sakramen- sakramen yang dikaruniakan Allah? Adakah kita cukup
menghargai dan merindukannya? Pertanyaan ini memang kembali kepada diri kita
masing-masing.
Melihat begitu dalamnya
kehidupan batin Allah, hati kita melimpah dengan ucapan syukur. Sebab kehidupan
batin tersebut tidak hanya ‘tertutup’ bagi Allah sendiri, namun Ia ‘membuka’
kehidupan-Nya agar kita dapat mengambil bagian di dalamnya. Ya, Allah
sesungguhnya tidak ‘membutuhkan’ kita, sebab kasihNya telah sempurna di dalam
kehidupan Tritunggal Maha Kudus. Namun justru karena kasih yang sempurna itu,
Ia merangkul kita semua, jika kita mau menanggapi panggilan-Nya. Mari
bersama kita berjuang, agar lebih menghargai rahmat Allah yang
terutama dinyatakan di dalam sakramen-sakramen, terutama sakramen Ekaristi,
sehingga kita dapat semakin menghayati persatuan kita dengan Kristus, yang
membawa kita kepada persatuan dengan Allah Tritunggal: Bapa, Putera dan Roh
Kudus. Dengan persatuan dengan Allah ini, kita mencapai puncak
kehidupan spiritualitas, di mana kita dimampukan oleh Allah untuk mengasihi Dia
dan sesama.
Referensi:
https://www.katolisitas.org/trinitas-satu-tuhan-dalam-tiga-pribadi/
Komentar
Posting Komentar