Mengapa Berpantang dan Berpuasa?
“What
are you going to give up this Lent?”
Di
Amerika ini, ada pertanyaan umum menjelang masa Prapaska. Dalam pembicaraan
sehari- hari antar teman, seseorang dapat bertanya, “What are you going to give
up this Lent?” (“Kamu mau pantang apa dalam Masa Prapaska ini?”). Ya,
seharusnya pertanyaan ini timbul di hati kita sebelum kita memulai masa
Prapaska, jika kita ingin membuat Masa Prapaska ini suatu kesempatan kita untuk
bertumbuh secara rohani. Inilah kesempatan bagi kita untuk merenungkan, hal apa
yang paling kita sukai, yang dapat kita ‘korbankan’ demi menyatakan kasih
kepada Tuhan, yang lebih dahulu mengasihi kita. Hal yang disukai bisa berbeda
antara orang yang satu dengan yang lain, dan karena itu, yang paling dapat
merasakan efeknya adalah orang yang bersangkutan. Ada keluarga teman saya yang
senengnya menonton TV, kemudian mereka memutuskan untuk mengurangi nonton TV
sehingga hanya 1 kali seminggu, hari Sabtu. Waktu yang tadinya dipakai untuk
nonton TV dipergunakan untuk berkumpul dan berdoa bersama. Ada pula keluarga
yang suka makan di restoran. Maka mereka pantang makan di restoran di Masa
Prapaska, supaya uang yang biasanya dipakai untuk makan di restoran itu dapat
disumbangkan ke panti asuhan. Tahun lalu, di samping pantang daging, suami saya memilih pantang kopi, dan saya
pantang sambal. Minggu pertama sangat berat buat suami saya, yang sudah
bertahun-tahun terbiasa minum kopi minimal 3 gelas sehari. Awalnya, kepalanya pusing
dan selalu mengantuk, namun toh akhirnya bisa juga. Lalu saya, dengan pantang
sambal maka makan apapun rasanya kurang pas di lidah saya. Tapi hal ini
mengajarkan saya supaya tidak lekas komplain. Sebab ini bukan apa-apa jika
dibandingkan dengan pengorbanan Yesus di kayu salib.
Memang,
kita dapat menemukan banyak jenis pantang, dan mungkin pula kita dapat memilih
yang sedikit lebih sulit, yang
melibatkan penguasaan diri. Contohnya, pantang membicarakan kekurangan orang
lain, pantang membicarakan kelebihan diri sendiri, pantang mengeluh/ komplain, pantang
berprasangka negatif atau pantang marah bagi orang yang lekas emosi.
Selanjutnya kita diajak untuk lebih mengarahkan hati kepada Tuhan dan berusaha
menyenangkan hati-Nya dengan pikiran dan perbuatan kita. Ini adalah contoh yang paling sederhana dari
ucapan, “Aku mau mati terhadap diri sendiri dan hidup bagi Tuhan” (lih. Rom
6:8). Jadi pantang dan puasa bukan sekedar tidak makan daging atau tidak jajan,
tetapi selebihnya tak ada yang berubah dalam hubungan kita dengan Tuhan dan
sesama. Kita diundang untuk melihat ke dalam diri kita, untuk melihat kebiasaan
apakah yang selama ini menghalangi kita untuk lebih dekat kepada Tuhan. Mari,
pada masa Prapaska ini, kita membuat suatu usaha nyata untuk mengambil
‘penghalang’ tersebut dalam hidup kita. Dan dengan demikian, kita dapat
mengalami hubungan yang lebih baik dengan Tuhan.
Buat
apa berpantang dan berpuasa?
Setiap
masa Prapaska, kita diajak oleh Gereja untuk bersama-sama berpantang dan
berpuasa. Puasa dan pantang yang disyaratkan oleh Gereja Katolik sebenarnya
tidak berat, sehingga sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak
melakukannya. Namun, meskipun kita melakukannya, tahukah kita arti pantang dan
puasa tersebut bagi kita umat Katolik?
Bagi
kita orang Katolik, puasa dan pantang artinya adalah tanda pertobatan, tanda
penyangkalan diri, dan tanda kita mempersatukan sedikit pengorbanan kita dengan
pengorbanan Yesus di kayu salib sebagai silih dosa kita dan demi mendoakan
keselamatan dunia. Jika pantang dan puasa dilakukan dengan hati tulus maka
keduanya dapat menghantar kita bertumbuh dalam kekudusan. Kekudusan ini yang
dapat berbicara lebih lantang dari pada khotbah yang berapi-api sekalipun, dan
dengan kekudusan inilah kita mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah.
Allah begitu mengasihi dan menghargai kita, sehingga kita diajak oleh-Nya untuk
mengambil bagian dalam karya keselamatan ini. Caranya, dengan bertobat, berdoa
dan melakukan perbuatan kasih, dan sesungguhnya inilah yang bersama-sama kita
lakukan dalam kesatuan dengan Gereja pada masa Prapaska.
Jangan
kita lupa bahwa masa puasa selama 40
hari ini adalah karena mengikuti teladan Yesus, yang juga berpuasa selama 40
hari 40 malam, sebelum memulai tugas karya penyelamatan-Nya (lih. Mat 4: 1-11;
Luk 4:1-13). Yesus berpuasa di padang gurun dan pada saat berpuasa itu Ia
digoda oleh Iblis. Yesus mengalahkan godaan tersebut dengan bersandar pada
Sabda Tuhan yang tertulis dalam Kitab Suci. Maka, kitapun hendaknya bersandar
pada Sabda Tuhan untuk mengalahkan godaan pada saat kita berpuasa. Dengan doa
dan merenungkan Sabda Tuhan, kita akan semakin menghayati makna puasa dan
pantang pada Masa Prapaska ini.
Puasa
dan pantang tak terlepas dari doa dan amal kasih
Jadi
puasa dan pantang bagi kita tak pernah terlepas dari doa dan amal kasih. Dalam
masa Prapaska, puasa, pantang dan doa disertai juga dengan perbuatan amal kasih
bersama-sama dengan anggota Gereja yang lain. Dengan demikian, pantang dan
puasa bagi kita orang Katolik merupakan latihan rohani yang mendekatkan diri
pada Tuhan dan sesama, dan bukan untuk hal lain, seperti semata-mata ‘menyiksa
badan’, diit/ supaya kurus, menghemat, dll. Janganlah kita lupa, tujuan utama
puasa dan pantang adalah supaya kita dapat lebih menghayati kasih Tuhan yang
kita terima dan kasih kepada Tuhan. Kita diajak untuk merenungkan sengsara
Kristus demi menyelamatkan kita, dan selanjutnya kita diajak untuk menyatakan
kasih kita kepada Kristus, dengan mendekatkan diri kepada-Nya dan sesama.
Dengan
puasa kita mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah
Dengan
mendekatkan dan menyatukan diri dengan Tuhan, maka kehendak-Nya menjadi
kehendak kita. Dan karena kehendak Tuhan yang terutama adalah keselamatan
dunia, maka melalui puasa dan pantang, kita diundang Tuhan untuk mengambil
bagian dalam karya penyelamatan dunia, yaitu dengan berdoa dan menyatukan
pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib. Kita pun dapat
mendoakan keselamatan dunia dengan mulai mendoakan bagi keselamatan orang-orang
yang terdekat dengan kita: orang tua, suami/ istri, anak-anak, saudara, teman,
dan juga kepada para imam dan pemimpin Gereja. Kemudian kita dapat pula berdoa
bagi para pemimpin negara, para umat beriman, ataupun mereka yang belum
mengenal Kristus.
Puasa
dan Pantang menurut Ketentuan Gereja Katolik
Berikut
ini mari kita lihat ketentuan tobat dengan puasa dan pantang, menurut Kitab
Hukum Gereja Katolik:
1.
Kan. 1249 – Semua orang beriman kristiani wajib
menurut cara masing-masing melakukan tobat demi hukum ilahi; tetapi agar mereka
semua bersatu dalam suatu pelaksanaan tobat bersama, ditentukan hari-hari
tobat, dimana umat beriman kristiani secara khusus meluangkan waktu untuk doa,
menjalankan karya kesalehan dan amal-kasih, menyangkal diri sendiri dengan
melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia dan terutama dengan
berpuasa dan berpantang, menurut norma kanon-kanon berikut.
2.
Kan. 1250 – Hari dan waktu tobat dalam seluruh
Gereja ialah setiap hari Jumat sepanjang tahun, dan juga masa prapaskah.
3.
Kan. 1251 – Pantang makan daging atau makanan
lain menurut ketentuan Konferensi para Uskup hendaknya dilakukan setiap hari
Jumat sepanjang tahun, kecuali hari Jumat itu kebetulan jatuh pada salah satu
hari yang terhitung hari raya; sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan
pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati Sengsara dan Wafat
Tuhan Kita Yesus Kristus.
4.
Kan. 1252 – Peraturan pantang mengikat mereka
yang telah berumur genap empat belas tahun; sedangkan peraturan puasa mengikat
semua yang berusia dewasa sampai awal tahun ke enampuluh; namun para gembala
jiwa dan orangtua hendaknya berusaha agar juga mereka, yang karena usianya
masih kurang tidak terikat wajib puasa dan pantang, dibina ke arah cita-rasa
tobat yang sejati.
5.
Kan. 1253 – Konferensi para Uskup dapat
menentukan dengan lebih rinci pelaksanaan puasa dan pantang; dan juga dapat
mengganti-kan seluruhnya atau sebagian wajib puasa dan pantang itu dengan
bentuk-bentuk tobat lain, terutama dengan karya amal-kasih serta
latihan-latihan rohani.
Memang
sesuai dari yang kita ketahui, ketentuan dari Konferensi para Uskup di
Indonesia menetapkan selanjutnya :
1.
Hari Puasa dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan
Jumat Agung. Hari Pantang dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan tujuh Jumat
selama Masa Prapaska sampai dengan Jumat Agung.
2.
Yang wajib berpuasa ialah semua orang Katolik
yang berusia 18 tahun sampai awal tahun ke-60. Yang wajib berpantang ialah
semua orang Katolik yang berusia genap 14 tahun ke atas.
3.
Puasa (dalam arti yuridis) berarti makan kenyang
hanya sekali sehari. Pantang (dalam arti yuridis) berarti memilih pantang
daging, atau ikan atau garam, atau jajan atau rokok. Bila dikehendaki masih
bisa menambah sendiri puasa dan pantang secara pribadi, tanpa dibebani dengan
dosa bila melanggarnya.
Maka
penerapannya adalah sebagai berikut:
1.
Kita berpantang setiap hari Jumat sepanjang
tahun (contoh: pantang daging, pantang rokok dll) kecuali jika hari Jumat itu
jatuh pada hari raya, seperti dalam oktaf masa Natal dan oktaf masa Paskah.
Penetapan pantang setiap Jumat ini adalah karena Gereja menentukan hari Jumat sepanjang
tahun (kecuali yang jatuh di hari raya) adalah hari tobat. Namun, jika kita mau
melakukan yang lebih, silakan berpantang, setiap hari selama Masa Prapaska.
2.
Jika kita berpantang, pilihlah makanan/ minuman
yang paling kita sukai. Pantang daging adalah contohnya, atau yang lebih sukar
mungkin pantang garam. Tapi ini bisa juga berarti pantang minum kopi bagi orang
yang suka sekali kopi, dan pantang sambal bagi mereka yang sangat suka sambal,
pantang rokok bagi mereka yang merokok, pantang jajan bagi mereka yang suka
jajan. Jadi jika kita pada dasarnya tidak suka jajan, jangan memilih pantang
jajan, sebab itu tidak ada artinya.
3.
Pantang tidak terbatas hanya makanan, namun
pantang makanan dapat dianggap sebagai hal yang paling mendasar dan dapat
dilakukan oleh semua orang. Namun jika satu dan lain hal tidak dapat dilakukan,
terdapat pilihan lain, seperti pantang kebiasaan yang paling mengikat, seperti
pantang nonton TV, pantang ’shopping’, pantang ke bioskop, pantang ‘gossip’,
pantang main ‘game’ dll. Jika memungkinkan tentu kita dapat melakukan gabungan
antara pantang makanan/ minuman dan pantang kebiasaan ini.
4.
Puasa minimal dalam setahun adalah Hari Rabu Abu
dan Jumat Agung, namun bagi yang dapat melakukan lebih, silakan juga berpuasa
dalam ketujuh hari Jumat dalam masa Prapaska, (atau bahkan setiap hari dalam
masa Prapaska).
5.
Waktu berpuasa, kita makan kenyang satu kali,
dapat dipilih sendiri pagi, siang atau malam. Harap dibedakan makan kenyang
dengan makan sekenyang-kenyangnya. Karena maksud berpantang juga adalah untuk
melatih pengendalian diri, maka jika kita berbuka puasa/ pada saat makan
kenyang, kita juga tetap makan seperti biasa, tidak berlebihan. Juga makan
kenyang satu kali sehari bukan berarti kita boleh makan snack/ cemilan
berkali-kali sehari. Ingatlah tolok ukurnya adalah pengendalian diri dan
keinginan untuk turut merasakan sedikit penderitaan Yesus, dan mempersatukan
pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib demi keselamatan dunia.
6.
Maka pada saat kita berpuasa, kita dapat mendoakan
untuk pertobatan seseorang, atau mohon pengampunan atas dosa kita. Doa-doa
seperti inilah yang sebaiknya mendahului puasa, kita ucapkan di tengah-tengah
kita berpuasa, terutama saat kita merasa haus/ lapar, dan doa ini pula yang
menutup puasa kita/ sesaat sebelum kita makan. Di sela-sela kesibukan
sehari-hari kita dapat mengucapkan doa sederhana, “Ampunilah aku, ya Tuhan. Aku
mengasihi-Mu, Tuhan Yesus. Mohon selamatkanlah …..” (sebutkan nama orang yang
kita kasihi)
7.
Karena yang ditetapkan di sini adalah syarat
minimal, maka kita sendiri boleh menambahkannya sesuai dengan kekuatan kita.
Jadi boleh saja kita berpuasa dari pagi sampai siang, atau sampai sore, atau
bagi yang memang dapat melakukannya, sampai satu hari penuh. Juga tidak menjadi
masalah, puasa sama sekali tidak makan dan minum atau minum sedikit air.
Diperlukan kebijaksanaan sendiri (prudence) untuk memutuskan hal ini, yaitu
seberapa banyak kita mau menyatakan kasih kita kepada Yesus dengan berpuasa,
dan seberapa jauh itu memungkinkan dengan kondisi tubuh kita. Walaupun tentu,
jika kita terlalu banyak ‘excuse’ ya berarti kita perlu mempertanyakan kembali,
sejauh mana kita mengasihi Yesus dan mau sedikit berkorban demi mendoakan
keselamatan dunia.
Tidak
terbatas Pantang dan Puasa dan derma/amal
Dalam
masa Prapaska ini, dapat pula kita melakukan sesuatu yang baik yang belum
secara konsisten kita lakukan. Misal, bangun lebih pagi setiap hari untuk
berdoa, misal dari yang biasanya 5 menit, usahakan jadi 10 menit; atau dari
yang biasanya 10 menit, usahakan jadi 20 menit, atau yang 30 menit jadi 1 jam.
Memulai hari dengan berdoa dan merenungkan Sabda Tuhan adalah sesuatu yang
perlu kita usahakan setiap hari.
Mengikuti
Misa Harian (di samping Misa hari Minggu, tentu saja) adalah sesuatu yang dapat
pula kita lakukan, jika itu memang memungkinkan dalam situasi kita. Jangan
terlalu cepat mengatakan tidak mungkin, jika belum pernah mencoba. Apalagi jika
kita tidak mencobanya karena malas bangun pagi. Mengikuti Misa dan menyambut
Kristus dalam Ekaristi adalah bukti yang nyata bahwa kita sungguh menghargai
apa yang telah dilakukan-Nya bagi kita di kayu salib demi keselamatan kita.
Kita dapat pula meluangkan waktu untuk doa Adorasi, di hadapan Sakramen Maha
Kudus, jika memang ada kapel Adorasi di paroki/ di kota tempat kita tinggal.
Atau kita dapat mulai berdoa Rosario setiap hari. Atau mulai dengan setia
meluangkan waktu untuk mempelajari Kitab Suci dan Katekismus Gereja Katolik.
Atau mengikuti Ibadat Jalan Salib di gereja, atau jika tidak mungkin, melakukannya
bersama dengan keluarga di rumah.
Dalam
relasi kita dengan sesama, juga tidak terbatas dengan ‘asal sudah nyumbang,
maka sudah beres’. Dengan merenungkan sengsara Tuhan Yesus, maka kita diajak
untuk lebih peka terhadap sikap kita terhadap sesama yang kurang beruntung.
Misalnya, yang paling dekat adalah pembantu rumah tangga dan supir. Pernahkah
kita memberi kesempatan pada mereka untuk beristirahat, misalnya memberi mereka
libur? Libur di sini tidak termasuk hanya pada libur Lebaran, dst, tetapi
libur/ istirahat agar mereka juga dapat berekreasi dan melepas lelah. Atau
apakah kita menjalin persahabatan dengan sesama anggota Paroki yang
berkekurangan?
Wah,
banyak sekali sesungguhnya yang dapat kita lakukan, jika kita sungguh ingin
bertumbuh di dalam iman. Namun seungguhnya, mulailah saja dengan langkah kecil
dan sederhana. St. Theresia dari Liseux pernah mengatakan tipsnya, yaitu,
“Lakukanlah perbuatan-perbuatan yang kecil dan sederhana, namun dengan kasih
yang besar.”
Maka
untuk menjawab pertanyaan awal, “Mau pantang apa aku pada Masa Prapaska ini?”,
kita perlu kembali melihat ke dalam hati kita masing-masing. Pasti jika kita
mau jujur, akan selalu ada yang dapat kita lakukan. Mengurangi nonton TV,
mengurangi ngemil/ jajan, mengurangi nonton bioskop, tidak main game di
internet, dll hanya contoh saja, namun itu belum lengkap, jika kita tidak
menggunakan waktu tersebut, untuk hal-hal lain yang lebih mendukung perbuatan
kasih kita kepada Tuhan dan sesama.
Ya,
dengan Rabu Abu, kita diingatkan bahwa hidup kita di dunia ini hanyalah
sementara, maka mari kita mempersiapkan diri bagi kehidupan kita yang
sesungguhnya di surga kelak. Kita hanya dapat masuk surga dan memandang Tuhan
hanya jika kita memiliki kekudusan itu (lih. Ibr 12:14), maka sudah saatnya
kita bertanya pada diri sendiri: sudahkah aku hidup kudus? Masa pertobatan
adalah masa rahmat yang Tuhan berikan pada kita, untuk mengatur kembali fokus
kehidupan kita. Apakah yang menjadi pusat kegiatanku sehari-hari: aku atau
Tuhan? Jika kita masih banyak menemukan ‘aku’ sebagai pusatnya, mungkin sudah
saatnya kita mulai mengubahnya.
Sumber:katolisitas.org
Komentar
Posting Komentar