"Move on: Level Up With Jesus"
Seseorang, siapapun itu, yang pernah ada di hidup kita,
ketika pergi pasti meninggalkan bekas. Tanpa mereka, mungkin kita tidak menjadi
seseorang yang seperti sekarang. Mereka memiliki jasa dalam hidup kita walaupun
mereka ‘pergi untuk selama-lamanya’ dari hidup kita – baik lewat cara yang
menyakitkan atau pun baik-baik.
Kadang kita mendengar istilah “move on” bila menyangkut
sesuatu yang pernah ada. Move on sering disederhanakan sebagai fase pindah
ke lain hati. Padahal secara harafiah, ‘move’ berarti pindah dan ‘move on’
berarti proses berpindah. Dipandang dari perspektif yang lebih luas, ‘move on’
sebenarnya bisa juga mengacu pada proses beralih fokus dari orang atau
peristiwa di masa lalu yang menyakiti hati – tidak melulu percintaan.
Memang berat untuk melepaskan rasa luka masa lalu yang
membekas pada kita. Karenanya, terkadang kita jadi merasa perlu untuk mencari
suatu pelampiasan. Di waktu mengalami masa-masa sukar move on, kerap
kali kita menjadi lupa bahwa ada Tuhan yang senantiasa menolong dan menyertai
kita. Tuhan menemani kita melalui saat-saat tersebut.
Mazmur 124:8 berbunyi,
"Pertolongan
kita adalah dalam nama TUHAN, yang menjadikan langit dan
bumi,"
dan 1 Korintus 1:3 bertuliskan,
"Kasih karunia dan
damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus
Kristus menyertai kamu."
Kedua ayat di atas dengan gamblang mengingatkan kita
bahwa pertolongan kita hanya ada dalam-Nya dan
kasih karunia dan damai sejahtera-Nya juga senantiasa menyertai kita.
Alih-alih sebatas move on, kita juga
perlu move up. ‘Move up’ dapat diartikan berpindah ke atas, atau lebih
dalam lagi bisa dimaknai sebagai moving to level
up with Jesus. Patah hati, kejadian menyakitkan, juga masa lalu
kelam yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita, boleh kita maknai
semata-mata agar kita senantiasa mengingat akan kasih Allah yang begitu
besar pada kita (Yohanes 3:16).
Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:16), kasih
yang sempurna hanya ada di dalam Allah sendiri (1 Yohanes
4:17), bukan yang lain.
Mari kita melihat moment kehilangan kita sebagai ajang yang
diizinkan Tuhan agar kita bertumbuh dan bertekun di dalam-Nya. Mungkin Tuhan mengambil
seseorang dari kita agar kita kembali berfokus pada-Nya, sang Sumber Kasih,
bukannya teralihkan pada yang lain.
Ada sebuah kutipan yang begitu dalam maknanya, yang
mengatakan “Tuhan menghancurkan apa yang kita inginkan, tetapi Ia memberikan
gantinya lebih dari yang kita inginkan”.
Hidup kita ini seperti bejana tanah liat yang harus siap hancur. Pada proses pembuatannya, perajin tak akan segan-segan menghancurkan bejana yang cacat dan membentuk kembali hingga bejana tersebut sempurna. Sama halnya dengan pribadi kita dalam kehidupan. Saat mengalami kegagalan atau kehancuran, Tuhan tidak pernah tinggal diam dan meninggalkan kita. Yakinlah bahwa momen kegagalan atau kehancuran bukan sebuah akhir, melainkan sebuah titik balik. Titik balik menjadi pribadi yang lebih baik dan kian disempurnakan, sekaligus pengingat agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Kita bisa saja memilih menjelekkan atau membenci mereka
yang meninggalkan kita oleh karena hancurnya hati kita. Namun keberadaan Tuhan
yang mengisi hati kita juga memberi pilihan, apakah kita akan terus berada
dalam kesedihan dan penyesalan itu, ataukah kita memilih untuk naik level
bersama Dia?
Percayalah bahwa Tuhan memegang hari esok. Kesedihan
dan kesukaran yang kita alami sekarang, tak lebih dan tak kurang merupakan
sebuah ajang bagi Tuhan untuk mempersiapkan diri kita melangkah di kemudian
hari, bersama kasih-Nya yang tak pernah berkesudahan. Oleh karena kasih-Nya
yang telah tercurah atas kita, kiranya kita pun menyadari serta memperoleh
kekuatan untuk dapat mengampuni masa lalu kita. AMEN!
Komentar
Posting Komentar