Jumat, 04 Oktober 2024
Tema: "Mempunyai Garam dalam Diri"
Jam Doa di awal bulan Oktober ini dipimpin oleh saudari Estasia Meldy Rombe Pabesak (IE'23) dan saudari Yolanda Aprilia De Rozari (IE'24). Tema yang dibawakan ialah "Mempunyai Garam dalam Diri" yang diambil dari kitab Markus 9:50(TB). Bertempat di Pelataran Baruga UNHAS.
Dalam Markus 9:50(TB), Yesus menggunakan analogi garam untuk mengajarkan sesuatu yang mendalam mengenai kehidupan rohani kita. Garam adalah sesuatu yang sederhana, namun fungsinya sangat penting. Ia tidak hanya menambah rasa pada makanan, tetapi dalam konteks zaman Yesus, garam juga digunakan sebagai pengawet, menjaga agar sesuatu tidak rusak. Dengan ini, kita dapat menarik dua prinsip penting yang bisa kita pelajari dari perumpamaan garam.
1. Garam sebagai Simbol Kehidupan yang Berpengaruh
Yesus berkata, "Garam memang baik." Ini mengingatkan kita bahwa hidup kita sebagai orang percaya harus menjadi berkat dan pengaruh yang baik bagi orang lain. Sebagaimana garam menambah rasa pada makanan, hidup kita seharusnya menambah ‘rasa’ bagi orang lain—membawa sukacita, kasih, dan kebenaran Tuhan dalam setiap aspek kehidupan kita. Namun, Yesus juga memperingatkan bahwa jika garam kehilangan rasa asinnya, ia menjadi tidak berguna.
Dalam kehidupan rohani, garam yang hambar mencerminkan kehidupan iman yang suam-suam kuku. Orang percaya yang tidak lagi hidup dengan komitmen dan kasih yang tulus bisa kehilangan pengaruh dan kesaksian di tengah dunia. Untuk itu, kita perlu senantiasa menjaga kehidupan rohani kita agar tetap hidup, dinamis, dan penuh dengan pengaruh kebaikan. Kita harus tetap memiliki "garam" dalam diri kita.
2. Garam sebagai Simbol Perdamaian dan Hubungan
Di bagian akhir ayat ini, Yesus menekankan, "Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain." Di sini, garam juga bisa dilihat sebagai simbol dari perdamaian dan keharmonisan. Dalam hidup yang penuh tantangan, gesekan antar sesama tidak bisa dihindari. Tetapi Yesus mengajarkan bahwa kita harus hidup dalam perdamaian, mengutamakan kasih dan pengertian dalam hubungan kita dengan sesama.
Sebagaimana garam dapat menyembuhkan luka, kehadiran kita haruslah membawa perdamaian dan kesembuhan dalam hubungan. Hidup yang penuh garam adalah hidup yang tidak hanya berpengaruh baik, tetapi juga mampu menjaga harmoni di tengah masyarakat, di tengah keluarga, di gereja, dan di mana pun kita berada.
Mempunyai garam dalam diri berarti hidup dalam kekuatan rohani yang nyata, menjadi berkat bagi orang lain, dan senantiasa menjaga perdamaian. Mari kita periksa diri kita: Apakah garam dalam diri kita masih asin? Apakah kehidupan kita masih memberi rasa dan dampak yang positif bagi lingkungan kita? Jika ada bagian dari hidup kita yang mulai hambar, marilah kita kembali kepada Tuhan, Sang Sumber, yang akan memberikan kita kekuatan dan pembaruan.
Komentar
Posting Komentar