Langsung ke konten utama

ARTIKEL BULAN MARET

Kasih yang Abadi dalam Iman, Bahasa, dan Filsafat: Sebuah Analisis Komprehensif

Joe Happines, Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

“Jadi bekerjalah Yakub tujuh tahun lamanya untuk mendapatkan Rahel itu, tetapi yang tujuh tahun itu dianggapnya seperti beberapa hari saja, karena cintanya kepada Rahel.”

Kejadian 29:20

Kasih merupakan fenomena universal yang melintasi batas budaya, agama, dan filsafat, menjadi inti dari pengalaman manusia. Dalam tradisi Kristen, Alkitab menekankan bahwa kasih adalah esensi dari hubungan antara manusia dan Tuhan, serta antar sesama manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam 1 Korintus 13:4-7, kasih digambarkan sebagai sabar, murah hati, tidak cemburu, dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Definisi ini menegaskan bahwa kasih dalam perspektif Alkitabiah bukan sekadar emosi, melainkan tindakan nyata yang mencerminkan sifat ilahi.​

Di ranah sastra Indonesia, puisi Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono menawarkan interpretasi kasih yang sederhana namun mendalam. Melalui metafora seperti "kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu," puisi ini menggambarkan kasih sebagai pengorbanan tanpa pamrih. Analisis semiotika terhadap puisi-puisi Sapardi menunjukkan bahwa konsep kasih dalam karyanya mencakup kasih kepada sesama manusia, alam, dan Tuhan, sejalan dengan pandangan Erich Fromm tentang kasih sebagai seni kehidupan yang universal.

Dalam filsafat, Plato melalui karyanya Symposium memandang kasih (eros) sebagai dorongan menuju keindahan dan kebaikan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya mengarah pada pencarian kebenaran dan kebijaksanaan. Sementara itu, Søren Kierkegaard dalam Works of Love menekankan bahwa kasih sejati melibatkan tanggung jawab dan komitmen mendalam, melampaui sekadar perasaan emosional. Erich Fromm, dalam The Art of Loving, berpendapat bahwa kasih adalah keterampilan yang harus dipelajari, terdiri dari perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan.​

Meskipun berbagai perspektif tersebut menawarkan pemahaman yang kaya tentang kasih, terdapat tantangan dalam mengintegrasikan konsep-konsep ini ke dalam praktik kehidupan sehari-hari. Misalnya, idealisasi kasih tanpa pamrih sering kali bertentangan dengan kecenderungan manusia untuk mengharapkan timbal balik dalam hubungan. Selain itu, perbedaan budaya dan interpretasi individu dapat mempengaruhi bagaimana kasih dipahami dan diekspresikan, menimbulkan pertanyaan tentang universalitas definisi kasih.​

Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi kasih yang abadi dengan mengintegrasikan ketiga perspektif tersebut. Melalui pendekatan hermeneutik, penulis akan menafsirkan makna kasih dalam teks-teks keagamaan dan sastra, sementara melalui analisis konseptual, artikel ini akan membandingkan bagaimana filsafat dan linguistik membingkai konsep kasih. Dengan pendekatan ini, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana kasih dipahami, diekspresikan, dan dihayati dalam berbagai ranah kehidupan.

Kasih: Ditilik dari Perspektif Alkitab 

Dalam perspektif iman, khususnya dalam ajaran Kristen, kasih merupakan elemen fundamental yang mendefinisikan hubungan antara manusia dan Tuhan. Alkitab menggambarkan kasih sebagai sifat utama Allah yang diwujudkan dalam kasih-Nya terhadap manusia.

A.    Hakikat Kasih: Alkitabiah

“Barang siapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.”

1 Yohanes 4:8 

Kasih bukan hanya sekadar perasaan emosional, melainkan suatu bentuk tindakan dan komitmen yang didasarkan pada kesabaran, pengorbanan, dan keikhlasan. Kasih adalah sifat dasar Allah, dan sebagai umat-Nya, manusia dipanggil untuk mencerminkan kasih itu dalam hidup mereka.

B.    Kasih: Defisini Sifat

“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”

1 Korintus 13:4-7

Dari ayat ini, dapat disimpulkan bahwa kasih sejati bersifat:

1. Sabar dan murah hati

2. Tidak egois, sombong, atau pemarah

3. Selalu percaya, mengharapkan, dan menanggung

Kasih yang diajarkan oleh Alkitab menuntut manusia untuk hidup dalam kasih yang murni, bukan hanya dalam hubungan romantis, tetapi juga dalam setiap aspek kehidupan. 


C.    Kasih Allah: Puncak Kasih Sejati

Kasih yang paling agung dalam ajaran Kristen adalah kasih agape, yaitu kasih tanpa syarat yang ditunjukkan melalui pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib:

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Yohanes 3:16 

Dalam perspektif ini, kasih bukanlah sesuatu yang dicari atau dikembangkan oleh manusia secara mandiri, tetapi sesuatu yang berasal dari Tuhan dan harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Kasih sejati bukan hanya tentang menerima, tetapi juga memberi dengan ketulusan, tanpa mengharapkan balasan.

Kasih: Ditilik dari Perspektif Aksara

Jika perspektif iman melihat kasih sebagai anugerah Ilahi, perspektif aksara menunjukkan bahwa kasih juga merupakan konsep yang berkembang dalam kebudayaan manusia dan direpresentasikan melalui berbagai bahasa dan tulisan.

Dalam peradaban kuno, kasih memiliki banyak makna yang tergantung pada konteks sosial dan budaya.

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,

Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu,

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”

Sapardi Djoko Damono


A.    Kasih: dalam Aksara Sanskerta

Dalam bahasa Sanskerta, kasih bukanlah satu entitas tunggal, tetapi memiliki berbagai tingkatan dan bentuk. Setiap istilah mencerminkan dimensi kasih yang berbeda, mulai dari kasih yang penuh pengabdian hingga kasih yang benar-benar altruistik:

1. Pranaya (प्रणय): Kasih yang mendalam dan penuh pengabdian.

2. Prema (प्रेम): Kasih suci yang bebas dari keegoisan.

3. Sneha (स्नेह): Kasih sayang yang lembut, mirip dengan kasih dalam hubungan keluarga atau persahabatan.


B.    Sebuah Kritikan: Terkesan seperti Paradoks, tapi Mungkin 

Apakah benar manusia tidak bisa mencapai kasih tanpa berharap?

Mengasihi dengan sederhana justru merupakan hal yang paling rumit karena menuntut seseorang untuk mengasihi tanpa mengharapkan balasan, sedangkan manusia secara kodrati cenderung selalu berharap untuk dikasihi kembali.

Dari perspektif psikologi dan filsafat, ini adalah argumen yang kuat. Sigmund Freud, misalnya, dalam teori psikoanalisisnya, menekankan bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar untuk mengasihi dan dikasihi. Bahkan dalam teori kasih The Art of Loving oleh Erich Fromm, kasih tidak sekadar tindakan memberi, tetapi juga keseimbangan antara memberi dan menerima.

Jika dikaitkan dengan puisi Sapardi, metafora kayu kepada api dan awan kepada hujan menunjukkan bahwa kasih terjadi dalam diam, tanpa komunikasi eksplisit, dan tanpa tuntutan. Namun, dalam realitas manusia, bisakah kita benar-benar mengasihi seseorang tanpa setidaknya berharap untuk dikasihi kembali?

Perspektif aksara menunjukkan bahwa cinta bukan hanya fenomena spiritual atau psikologis, tetapi juga realitas sosial yang diwariskan melalui bahasa dan budaya. Setiap peradaban memiliki cara tersendiri dalam mendefinisikan dan mengekspresikan kasih, yang mencerminkan bagaimana manusia memahami hubungan mereka satu sama lain dan dengan dunia di sekitarnya. 

Kasih: Ditilik dari Perspektif Filsafat

Perspektif filsafat menawarkan pendekatan yang lebih reflektif terhadap hakikat kasih, dengan menyoroti tujuan dan maknanya dalam kehidupan manusia. Beberapa pemikir besar yang membahas kasih antara lain:


A.    Kasih dalam Pemikiran Plato: Eros Menuju Kebaikan

Dalam Symposium, Plato menggambarkan (eros) sebagai dorongan manusia untuk mencapai keindahan dan kebaikan yang lebih tinggi. Ia mengembangkan konsep Tanggga Cinta (Ladder of Love), di mana cinta berawal dari ketertarikan fisik, lalu berkembang menjadi cinta terhadap jiwa, hingga akhirnya mencapai cinta terhadap kebijaksanaan dan kebenaran absolut (philosophia).

Proses ini dikenal sebagai Tanggga Cinta (Ladder of Love), yang terdiri dari beberapa tahap:

1. Cinta terhadap keindahan fisik: Berawal dari ketertarikan terhadap tubuh seseorang.

2. Cinta terhadap jiwa: Ketertarikan berkembang menjadi penghargaan terhadap karakter dan kebajikan.

3.  Cinta terhadap kebijaksanaan: Cinta tidak lagi berpusat pada individu, tetapi pada kebenaran dan ilmu pengetahuan.

4.  Cinta terhadap Ide Keindahan: Puncak cinta adalah mencintai Keindahan Absolut, yaitu kebijaksanaan dan kebaikan yang tertinggi.

B.    Kierkegaard: Kasih sebagai Tanggung Jawab dan Iman

Søren Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis Kristen, menolak gagasan bahwa kasih hanyalah pengalaman emosional. Dalam Works of Love, ia menegaskan bahwa cinta sejati adalah tindakan yang melibatkan komitmen moral dan spiritual. Bagi Kierkegaard, cinta bukanlah sesuatu yang berkembang secara bertahap seperti dalam pemikiran Plato, tetapi suatu tanggung jawab yang menuntut kesetiaan dan pengorbanan.

“Kasih bukanlah sesuatu yang dimulai dengan kilatan gairah, tetapi sesuatu yang berkembang dalam ketekunan dan kesetiaan.”

Søren Kierkegaard


C.    Erich Fromm: Kasih sebagai Seni yang Harus Dipelajari

Dalam The Art of Loving, Erich Fromm menekankan bahwa kasih bukanlah perasaan pasif atau sesuatu yang datang secara alami, tetapi keterampilan yang harus dipelajari dan dipraktikkan. Ia mengidentifikasi empat elemen utama dalam kasih sejati: 

1. Perhatian (Care): Mengasihi berarti peduli terhadap kesejahteraan orang yang dikasihi

2. Tanggung Jawab (Responsibility): Kasih bukan hanya soal perasaan, tetapi juga tindakan nyata untuk melindungi dan mendukung orang lain

3. Rasa Hormat (Respect): Menghargai kebebasan dan individualitas orang yang dikasihi

4. Pengetahuan (Knowledge): Mengasihi berarti mengenal seseorang secara mendalam, bukan hanya pada level fisik, tetapi juga pada tingkat emosional dan spiritual

Bagi Fromm, banyak orang gagal dalam kasih karena mereka melihatnya sebagai sesuatu yang harus diperoleh, bukan dipraktikkan. Kasih sejati bukan tentang memiliki, tetapi tentang memberi.

Perspektif filsafat mengajarkan bahwa kasih bukan hanya anugerah atau budaya, tetapi juga usaha sadar manusia untuk memahami, merawat, dan membangun hubungan yang bermakna.

Sintesis Ketiga Perspektif: Kontradiksi dan Sintesis

Ketiga perspektif ini menawarkan pemahaman yang berbeda tentang kasih, yang dalam beberapa hal tampak bertentangan:

1. Iman: menekankan bahwa kasih berasal dari Tuhan dan bersifat tanpa syarat.

2. Aksara: menunjukkan bahwa kasih adalah konsep yang berkembang dalam budaya manusia.

3. Filsafat: melihat kasih sebagai sesuatu yang dapat dipelajari dan dikembangkan melalui refleksi dan pengalaman.

Namun, alih-alih bertentangan, ketiga perspektif ini sebenarnya saling melengkapi.

1. Dari perspektif iman, kita memahami bahwa kasih memiliki dimensi spiritual yang mendalam.

2. Dari perspektif aksara, kita melihat bahwa kasih adalah bagian dari sejarah dan kebudayaan manusia.

3. Dari perspektif filsafat, kita belajar bahwa kasih bukan hanya sesuatu yang diterima, tetapi juga sesuatu yang harus dipahami dan dikembangkan secara sadar.

Kasih bukan sekadar perasaan, melainkan sebuah realitas multidimensional yang mencakup aspek spiritual, sosial, dan intelektual. Dengan memahami kasih dari berbagai perspektif ini, kita dapat membangun hubungan yang lebih bermakna, baik dengan sesama maupun dengan Tuhan.

Apakah kita mengasihi karena Tuhan menghendakinya, karena budaya mengajarkannya, atau karena kita memilih untuk melakukannya?

Jawaban atas pertanyaan ini mungkin berbeda bagi setiap individu, tetapi satu hal yang pasti: Kasih selalu menjadi inti dari keberadaan manusia.


Daftar Putaka:

Damono, S. D. (1994). Hujan Bulan Juni. Gramedia Pustaka Utama.

Fromm, E. (1956). The Art of Loving. Harper & Row.

Kierkegaard, S. (2009). Works of Love (H. Hong & E. Hong, Trans.). Harper Perennial. (Original work published 1847).

Plato. (1999). Symposium (A. Nehamas & P. Woodruff, Trans.). Hackett Publishing Company.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membangun dan Menguatkan

Membangun dan Menguatkan “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani 10:24-25) Dalam menjalani kehidupan ini, tak dapat dipungkiri bahwa masalah bisa saja datang silih berganti. Masalah-masalah yang datang terkadang mampu kita hadapi seorang diri tetapi ada kalanya masalah itu terlalu berat dan kita membutuhkan topangan dari orang lain. Tuhan Yesus sendiri memang menciptakan manusia sebagai makhluk sosial dan bukan makhluk individualis. Dalam Kejadian 2:18 berkata “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Firman ini memiliki arti bahwa manusia memang diciptakan memiliki keterkaitan  dengan sesamanya. Kita sebagai manusia meman...

Renungan Bulan Desember

Firman Tuhan Adalah Benih Yang Menghidupkan ( Mzm. 1:1-3 ; Luk. 8:11-15) Mazm. 1:1-3    Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. Firman Tuhan adalah makanan rohani orang percaya untuk bertumbuh akan pengenalan kepada Yesus dan kebenaran-Nya. Namun dewasa ini, banyak orang Kristen yang enggan membaca Alkitab dengan berbagai alasan. Padahal, jika kita membaca dalam Mzm. 1:1-3, seharusnya kita senantiasa membaca bahkan merenungkan Firman Tuhan agar kita menjadi orang yang diberkati di dalam Dia. Menjadi orang yang diberkati bukan menjadi tujuan hidup orang yang hidup di dalam Tuhan, melainkan suatu anug...

Review Pendalaman Alkitab

DOA Waktu Pelaksanaan      : Selasa, 12 Oktober 2021 Pemateri                       : Ev. Pieter G. O. Sunkudon Jumlah Peserta             : 47 orang Ayat Alkitab                : Matius 6:5-15      Doa merupakan kebiasaan atau gaya hidup setiap orang percaya sehingga seringkali dikatakan doa sebagai nafas hidup orang percaya. Seringkali kita berdoa tetapi tidak juga didengar atau dibalaskan oleh Tuhan. Hal ini dikarenakan beberapa kesalahan yang kita perbuat ketika berdoa. Dalam Matius 6:5-8, Tuhan Yesus mengajarkan bagaimana seharusnya sikap seseorang dalam berdoa. Dalam firman Tuhan tersebut, dikatakan bahwa seringkali banyak orang yang berdoa seperti orang munafik yang berdoa di tempat umum untuk dilihat atau dikenal...